Selasa, 31 Januari 2017

Perjalanan [?]

Ah konyol, masa iya harus kenalan dengan diri sendiri. Memang konyol. Tapi percayalah, akan lebih konyol lagi kalau ternyata kita bahkan tidak mengenal baik siapa diri kita. 

Akhir-akhir ini saya sering melakukan perjalanan. Perjalanan seolah tumbuh menjadi salah satu obsesi pribadi. Bukan karena jalan-jalan sedang jadi lifestyle yang boom, atau sekedar traveling memperbanyak check point (meskipun awalnya begitu), tapi lebih ke bagaimana membawa oleh cerita dari setiap perjalanan. Ternyata cerita-cerita tak terprediksi yang dialami selama perjalanan mampu membuat kita tumbuh semakin bijak, lebih mengenal siapa kita, dan akan kemana arah tujuan hidup sebenarnya. Bahkan membuat kita terhenti di sebuah persimpangan, sudahkah kita hidup dengan "benar" ?



Perjalanan tak hanya bercerita tentang perpisahan, pertemuan, perasaan, atau persinggahan demi persinggahan; tetapi juga menciptakan kekuatan-kekuatan baru saat kita harus pulang. Menciptakan kedalaman perenungan tentang siapa kita sebenarnya. Sudah pantaskah kita sombong? ketika begitu banyak orang-orang hebat kita temui. Sudah pantaskah kita disebut baik, kuat, santun, dan banyaak lagi gelar-gelar kehidupan yang ingin kita sematkan di raga kita masing-masing.

Dalam perjalanan bukan satu dua orang yang kita temui, mulai dari yang belum dikenal, teman lama semasa SMA bahkan semasa SD, sampai bertemu dengan orang-orang terkasih. 

Dari mereka yang belum kita  kenal, kita bisa sekejap merasa apa saja. Bisa merasa lebih kuat lalu jumawa, semisal ketika melihat gadis diantar mama papanya di bandara, "ah cengeng, ke bandara aja pake dianter!". Sekejap bisa merasa malu, ketika melihat nenek tua salah masuk lorong trolley saat pemeriksaan barang, dia sendirian dengan barang bawaan yang tidak sedikit. Di saat yang sama saya sedang merasa malas membawa barang yang menurut saya banyak dan merepotkan, padahal saya tidak sendirian. Nenek tua yang setulus itu meminta maaf kepada petugas bandara karena kesalahannya, petugas bandara yang mendadak sangat baiiiik hati, mungkin ia tengah membayangkan nenek tua itu ibu atau neneknya sendiri. Nenek itu mungkin menempuh perjalanan jauh hanya untuk menengok cucunya, melepas rindu pada anaknya, dan entahlah. Penerbangan yang berbeda membuat saya dan suami tidak bisa membantunya membawakan barang ke ruang tunggu. Pemandangan sekejap yang membuat saya sembuh dari "lelah" hanya karena hal sepele. "Nggak malu sama nenek tua itu?", batin saya menertawakan raganya sendiri.

Perjalanan yang kita labuhkan di rumah-rumah sahabat, membuat kita semakin paham, bahwa kita punya banyak perhentian saat kita lelah. Rumah mereka terbuka lebar hanya untuk menerima kita, melihat raga kita yang  mungkin tidak seperti dua tahun silam sebelum sama-sama terhanyut dalam kerinduan. Memeluk itu bukan gaya saya mengungkapkan kerinduan, canggung rasanya. Tapi entahlah kala tatap saling bertemu, selalu mampu mencairkan bekuan-bekuan di hati yang bernama rindu. Sahabat bukan hanya teman seperjuangan, mereka adalah salah satu rumah tempat saya pulang.  Padanya saya bisa menumpahkan apapun, bisa jadi apapun yang saya mau, dan mereka menatap penuh maklum. Ya, maklum tanpa batas. Perjalanan jauh bertahun-tahun tanpa satu kalipun pertemuan, tak mengurangi perasaan itu. Saya akan selalu pulang  pada mereka, sahabat-sahabat saya. Hei, kalian semakin kuat dan mempesona saja. Dari kalian, saya belajar kuat tanpa sok-kuat. saya belajar diterima tanpa memaksa. Belajar rela menunggu, meski untuk satu malam saja. Belajar ikhlas, datang dan pergi menjadi satu kepastian.

Keluarga - kata ajaib yang selalu berhasil membuat siapapun menjadi sangat sentimentil. Saya tidak terlalu paham bagaimana menyikapi institusi kecil yang sudah terlanjur terpisah-pisah ini. Kata yang selalu ada dalam impian, tapi tak juga membuat saya ingin pulang. Bukan karena kerinduan tak ada, tapi karena jiwa kadang tak sanggup menahan sesaknya kehilangan jiwa-jiwa mereka yang tenggelam dalam dunianya masing-masing. Ah, lebay. Tapi bukankah hak saya untuk merasa begitu? 
Lagi-lagi perjalanan begitu sakti menyembuhkan segala sesak tentang mereka. Dari perjalanan saya merasa tidak ada tempat kepulangan yang lebih saya rindukan selain ada di tengah-tengah mereka: keluarga saya yang begitu payah dalam mengungkapkan kasih sayang; keluarga yang terlalu kuat sehingga lupa kalau ada saya yang begitu cengeng; keluarga yang pantang menyerah pada takdir, yang kadang lupa untuk pasrah; keluarga satu satunya yang membuat saya menempuh perjalanan spiritual yang tak sedikit; keluarga yang amat sangat sungguh saya cintai; ah kalian ternyata 'rumah' ternyaman, meski kadang seperti sedang naik roller coaster ketika ada di sana, rumah yang bisa membuat tertawa, tegang, teriak, sampai menangis hanya dalam satu waktu. Keluarga yang bagi saya adalah perjalanan itu sendiri. 

Sudahkah anda melakukan perjalanan? bagaimana rasanya? Sudah saya duga, pasti menyenangkan !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar