Kamis, 29 November 2012

Kembali (lagi)


Seperti langit yang tak enggan menumpahkan ribuan jarum beningnya ke bumi. Serupa aku yang tak pernah enggan menjejali angin dengan tangis dan tawa di hari-hari. Ketika benar-benar ingin, atau pun tidak.
Di setiap celah berupaya mencari-cari ujung sinar. Yang kerlap kerlipnya tak henti menarik batin terkagum-kagum dalam tatapnya. Meski hening, tanpa kata dan nada.
Tapi celah tinggal celah, ia hanya menyajikan lelah dan sedikit gundah. Aku kembali dan memunggungi cahaya. Berjalan menunduk menikmati bau basah tanah. Sesekali menatap pepohonan yang tak jua mampu menghapus kecewa.
Aku pulang, aku kembali. Entah karena ingin, atau pun tidak.

(Rumah mungil pinjaman, 30 November 2012)

Dengarlah, Tuan


Tuan, aku ingin bercerita.

Entah sudah berapa malam, waktu ku terhisap cemas.
Sepanjang jalan yang kulewati setiap malam tak berhenti bercerita.
Memang aku suka cerita, tapi bukan cerita ini.
Anak dan balita kian akrab saja dengan temaram meredup, kadang tenggelam dalam gelap.
Aspal, tanah, bercampur debu menyeruak pedih di sela-sela harinya.
Sesekali, bulir-bulir hujan menyapa. Hujan yang turun serupa waterboom tanpa wahana bermain, sakti mencipta gigil berkepanjangan.
Terbaring juga remaja, lelaki dan wanita paru  baya, sampai orang  tua. Mereka semakin akrab dengan langit dan angin. Mereka dipaksa berteman.
Gemericik aliran serupa air pekat di selokan tiada bosan menyenandungkan lagu serupa nina bobo.

Tuan, apakah kau pernah mendengar cerita ini sebelumnya ?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?

Dipan-dipan mereka adalah pijakan ketika orang-orang mengangkut berkantong-kantong sepatu dan baju bermerek.
Dipan yang harus mereka rapikan sebelum mentari menyapa kota. Mereka tak boleh terlambat bangun. Semenit saja terlalu nyenyak,  serial makian pagi akan mereka santap dari sosok penguasa. Belum lagi adegan cibiran dan tatapan para pejalan bak raja yang terhalang laju singgasananya.
Kembali terbangun, tanpa peduli berapa gigitan yang melukis bulatan kemerahan di kulit tangan, kaki, dan wajahnya. Mereka tak mengenal wewangian di kamar mandi. Mereka tak tahu pesona aroma di dapur, saat pagi menyapa. Yang mereka tahu hanyalah kembali mengais ladang penghidupan. Kembali memanjakan lambung terkadang hanya dengan menikmati basi-basi di nasi.

Ah, tak tahulah. Apa yang telah aku perbuat di atas pijakan bumiku yang penuh gemerlap. Tetiba semua memekat, membuatku tercekat.
Tuan, bolehkah aku bertanya?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?

Kontemplasi berjudul 'hehe'

Dua bulan terakhir mungkin dua bulan yang tak biasa. Meski langit tak menghadiahkan hujan pada bumi, hari-hariku tak bisa lepas dari basah di pipi. Berlebihan dan dramatis memang. Tapi itulah yang terjadi. Genre kisahnya tak lepas dari terminologi 'putus cinta'. Dua bulan ini alih-alih aku bisa jadi termasuk nominasi makhluk yang paling irasional di muka bumi, hehe..

Bab-bab ilmiah yang disajikan di sela-sela hari membuatku merasa semakin konyol. Sulit sekali untuk bisa memahami dan mengunyahnya sebagaimana mestinya. Deretan kalimat yang terbaca dan tertulis hanyalah sastra kosong yang menggambarkan kekosongan rasa. Berlebihan atau bisa juga disebut 'lebay,' tapi itulah yang terjadi, hehe..

Serangkaian senyum tasire hadir mengiringi tingkah laku, di kampus, di kosan, di jalan, atau ketika melakukan adegan jual beli dengan abang bakso. Rutinitas, hanya serupa rutinitas yang menjadi kekayaanku dua bulan terakhir ini. 

Aku dengan setia melontarkan beberapa pertanyaan di jeda waktu menonton sinetron dan mengerjakan tugas-tugas kuliah di kosan. Pertanyaan yang mungkin  sebetulnya tidak akan pernah berjodoh dengan jawaban yang pasti. pertanyaan yang lebih pantas disebut penyesalan, penghujatan, dan penggalauan tak berkesudahan, hehe..

mengapa aku harus disakiti? mengapa aku harus dibohongi saat aku memberikan sebuah totalitas? mengapa aku? mengapa harapan itu sebegitu tinggi? mengapa aku begitu mencintai? mengapa sesakit ini? mengapa dia? mengapa seperti ini?

itulah kurang lebih pertanyaan-pertanyaan yang berulang. syaraf-syaraf di otakku hanya mematung tak bergeming. tak mampu berikan jawaban. hanya tercipta sekomunitas 'hehe' di ujung pertanyaan yang kemudian diasumsikan sebagai sebuah jawaban yang paling tepat. ya, apalagi yang bisa kulakukan selain berusaha menertawakan keganjilan rasa dan hampa yang bisa dikatakan akut ini.

hingga sampai pada hari ini. ini adalah bulan ke tiga setelah bencana besar dunia kalbu si gadis pemimpi yang tak lain dan tak bukan bernama: Aku.

di perjalanan, yang lumayan berbelok. aku bertemu banyak orang. tak usahlah kusebut satu persatu para penjual makanan yang setia menantiku sepulang dari kampus. orang-orang lama yang kunamai sahabat ternyata begitu menanti aku sembuh. mereka merindukan aku yang berdiri tegak dan menengadah menatap langit. aku yang tak pernah takut jatuh. aku yang katanya pandai menyembunyikan pilu dan sendu. aku yang lebih dikenal perempuan pemikir dan rasional. mereka mengaku kesakitan melihatku yang berubah menjadi pujangga tolol tak bersambut cahaya. orang-orang baru, yang hanya berjumlah dua dan tiga, yang belum sempat kunamai pun tengah membelai-belai bulir-bulir kognisiku untuk kembali berbinar menjalani mimpi. Ya, begitulah, ternyata aku cukup punya arti untuk setetali manusia. Sekabar baik untuk hidupku, hehe..

ah, terimakasihlah yang hanya mampu terhembus bersama nafas pagi ini. di samping buku-buku yang sengaja atau tidak sengaja digeletakkan di samping peraduan. aku begitu berterimakasih. aku seakan terbangun dari pingsan yang cukup panjang. aku tengah menikmati hujan yang tak lagi menorehkan lamunan gulita. aku tengah mencatat kutipan-kutipan hikmah di balik ketidaksadaran yang cukup lama kunikmati. 

aku kembali, aku pulang. 

Jika M dalam film Skyfall menyebut "Penyesalan tidaklah profesional," begitu aku sangat menyetujuinya. Baik di mata Tuhan ataupun makhluknya, penyesalan memang tak pernah profesional. Penyesalan tak pernah bisa menjadi pendongkrak terwujudnya keindahan hidup. Biarlah penyesalan atas ceritaku dalam konteks kemanusiawian, aku posisikan dalam terminologi kontemplasi bernama refleksi, bukan narasi.

Tuhan, izinkan aku memaafkan diriku atas segala ketololan yang membuatku kian kerdil. Izinkan aku pulang dan kembali menjadi makhluk yang tak henti merayu-Mu untuk memeluk semua mimpi. Ah, aku serupa mentari yang begitu bahagia menyapa bumi di pagi hari. Serupa sunrise, yang dinantikan banyak manusia di puncak gunung. Terima kasih.


Mari kembali mendaki, mari kembali berlari. :)


Minggu, 25 November 2012

Selamat Hari Guru, Indonesiaku

Guru. Pekerjaan atau pengabdian kah?
entahlah, aku tak tau pasti yang mana yang lebih merepresentasikan apa itu Guru.
Guru. bagiku, lebih dari sekedar pekerjaan.
tak layak rasanya jika seseorang menyandang lencana Guru, jika ia bukanlah pengabdi.

Guru, selamat hari guru.
tak ayal dunia ini bisa seperti sekarang jika tanpamu.
Guru, Selamat, kamu adalah Guru yang terpatri nama mulianya di Istana Pengabdian.

(Kelas, satu hari setelah Hari Guru Nasional Indonesia )

Selasa, 20 November 2012

Bisakah kau jelaskan?


Dalam kisah ini kita sangat pandai bermonolog. Aku menjadi sering bercerita dan bercengkrama dengan diriku sendiri. Mencoba melupakan sosok yang pernah ada dan mampu memberiku ketenangan. 
 --
Dari pagi ke pagi aku berjanji untuk berhenti mencari dan menunggu sosok engkau. Tapi janji itu tak pernah bisa aku tepati. Aku dan segelas kopi masih saja setia pada harapan akan kedatanganmu. 
kau dengan lenggang khasmu sembari tersenyum.
menanti kembali saling bercerita tentang mimpi-mimpi kita. 
 --
Begitu juga dengan kau. Di istanamu, kau pun mungkin tengah menggemakan monolog. Yang entah kalimat apa saja yang tengah kau untai. Entah kisah apa yang tengah kau urai.

Kini, kita telah sama-sama menjauh dari titik temu. aku berjalan mundur, dan kau berjalan maju setelah berbalik memunggungiku. aku masih setia menatapmu berjalan menjauh.
--
Tahukah kau?
 --
aku begitu kacau setelah kau memutuskan untuk pergi. Meja kerjaku berantakan tak pernah rapi. Pekerjaanku? Semakin banyak aku harus merevisi pekerjaanku. Entahlah, konsentrasi menjadi hal tersulit untukku. 
 --
Debu yang sudah terlalu tebal di atas tv pun tak pernah aku peduli. Aku tak lagi lahap menyantap sarapan, makan siang, dan makan malamku. Kantung mataku semakin gelap, kau lihat itu kan? aku tak lagi suka mematut-matut diri di depan cermin. Aku tak peduli. 
Nyatanya aku memang tak peduli hal lain, selain ingin kau bisa kembali.  
Tapi apakah kau masih peduli? Aku tak tahu pasti. 
Yang aku tahu, kau tidak ada di sini, kau bahkan tak membantuku membalut kesakitan ini.
--
Aku yang berusaha untuk terlihat kuat, setidaknya di matamu. Nyatanya hanya sosok yang terlalu rapuh untuk sekedar berjalan perlahan. Kau hebat, kau memang yang terhebat. Aku tak begitu. aku terlalu, ah entahlah ini perasaan apa. 
Cinta? Bukan, ini lebih dari sekedar itu. 
--
Mungkin kau marah, mungkin kau benci, mungkin kau kecewa atas aku yang kalah. Marah sajalah, bencilah, dan kecewalah. Dengan atau tanpa kemarahan, kebencian, dan kekecewaanmu padaku yang begitu lemah, aku tetaplah perempuan yang  tak bisa menghindar dari memuja, menanti dan merindukanmu. 
Marah sajalah, bencilah, dan kecewalah! Nyatanya aku memang terlalu lemah.
--
Jendela yang dibasahi embun setiap pagi, begitu berusaha empati terhadap tatapan kosongku. Ia kerapkali memaksaku bercerita. Entahlah, aku tak tahu caranya. Aku bingung, bagaimana aku harus menjelaskannya. 

Bisakah kau jelaskan aku harus bagaimana? wahai orang hebat yang kupuja.


 (monolog di penghujung gelap, November 2012)

Senin, 19 November 2012

Dinda

Dinda, moga senantiasa kebahagiaan dan keindahan tumbuh di tiap kita melangkah dinda.
Sampai tutup usia, dinda adalah seadanya.
Dinda dinda..
bahkan sampai kau benar-benar tua dan kulit-kulitmu dilipat usia, kau tetap perempuan teraduhai di aku dinda
jika kau suatu saat terjatuh, jatuhlah di atas tubuhku dinda, biar kulitmu tak luka atau biar sakit tak kau rasa. 
Dinda
katakan sesuatu apa saja terhadapku, lalu rasakan, betapa tubuhku senantiasa bergertar dinda.
karena keyakinan terhadapmu dinda

Jari jemari, gemulaimu, jari jemari lihaimu, kursakan lembut menyentuh yang kemudian kugenggam dan betapa tak ingin kulepaskan, sekarang, lusa, atau entah di kapan pun itu tak ingin kulepaskan.
betapa lalu aku ingin membiarkan diriku terhisap matamu, berkelana di dalam dirimu, menelusuri lembah-lembah hidupmu
denganmu...
Hanya kita. kita yang saling memandang
saling tersenyum, sesekali aku tersipu, dalam genggam yang tak pernah lepas.
dan tiap bila melihatmu tersipu, aku selalu ingin segera bisa mencuri tubuhmu ke dalam pelukanku,
kemudian menanam kecup di keningmu,
di pundakmu atau di kelopak matamu.


@uly_napitu

Kamis, 15 November 2012

Raya



Heii Raya. Kau serupa pohon hijau yang tak pernah membebani bumi.
Kau serupa bintang yang tak pernah menyesakkan langit.
Kau serupa mentari yang tak jua membakar semesta.

Raya, betapa luhur maknamu di alam ku.

Raya.
Lihatlah mendungnya langit. Itu mendungku, Raya.
Mengantungi berjuta pilu dan pekat. Sebentar lagi perihnya tumpah ruah di bumi. Bumiku, Raya.
Tak kah kau rasa, betapa dalam telaga harapan akan secercah mentari. Mentarimu raya?
Membuncah menyeruak gema kerinduan tak tertahan di sini, hatiku, Raya.

Tak lekang, takkan pernah hilang, aku menanti pelukan langitmu atas bumiku. 



Bumiku, 15-11-2012