Tuan, aku ingin bercerita.
Entah sudah berapa malam, waktu
ku terhisap cemas.
Sepanjang jalan yang kulewati
setiap malam tak berhenti bercerita.
Memang aku suka cerita, tapi
bukan cerita ini.
Anak dan balita kian akrab saja
dengan temaram meredup, kadang tenggelam dalam gelap.
Aspal, tanah, bercampur debu
menyeruak pedih di sela-sela harinya.
Sesekali, bulir-bulir hujan
menyapa. Hujan yang turun serupa waterboom tanpa wahana bermain, sakti mencipta
gigil berkepanjangan.
Terbaring juga remaja, lelaki dan
wanita paru baya, sampai orang tua. Mereka semakin akrab dengan langit dan
angin. Mereka dipaksa berteman.
Gemericik aliran serupa air pekat
di selokan tiada bosan menyenandungkan lagu serupa nina bobo.
Tuan, apakah kau pernah mendengar
cerita ini sebelumnya ?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?
Dipan-dipan mereka adalah pijakan
ketika orang-orang mengangkut berkantong-kantong sepatu dan baju bermerek.
Dipan yang harus mereka rapikan
sebelum mentari menyapa kota. Mereka tak boleh terlambat bangun. Semenit saja
terlalu nyenyak, serial makian pagi akan
mereka santap dari sosok penguasa. Belum lagi adegan cibiran dan tatapan para
pejalan bak raja yang terhalang laju singgasananya.
Kembali terbangun, tanpa peduli
berapa gigitan yang melukis bulatan kemerahan di kulit tangan, kaki, dan
wajahnya. Mereka tak mengenal wewangian di kamar mandi. Mereka tak tahu pesona
aroma di dapur, saat pagi menyapa. Yang mereka tahu hanyalah kembali mengais
ladang penghidupan. Kembali memanjakan lambung terkadang hanya dengan menikmati
basi-basi di nasi.
Ah, tak tahulah. Apa yang telah
aku perbuat di atas pijakan bumiku yang penuh gemerlap. Tetiba semua memekat,
membuatku tercekat.
Tuan, bolehkah aku bertanya?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar