Kamis, 29 November 2012

Dengarlah, Tuan


Tuan, aku ingin bercerita.

Entah sudah berapa malam, waktu ku terhisap cemas.
Sepanjang jalan yang kulewati setiap malam tak berhenti bercerita.
Memang aku suka cerita, tapi bukan cerita ini.
Anak dan balita kian akrab saja dengan temaram meredup, kadang tenggelam dalam gelap.
Aspal, tanah, bercampur debu menyeruak pedih di sela-sela harinya.
Sesekali, bulir-bulir hujan menyapa. Hujan yang turun serupa waterboom tanpa wahana bermain, sakti mencipta gigil berkepanjangan.
Terbaring juga remaja, lelaki dan wanita paru  baya, sampai orang  tua. Mereka semakin akrab dengan langit dan angin. Mereka dipaksa berteman.
Gemericik aliran serupa air pekat di selokan tiada bosan menyenandungkan lagu serupa nina bobo.

Tuan, apakah kau pernah mendengar cerita ini sebelumnya ?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?

Dipan-dipan mereka adalah pijakan ketika orang-orang mengangkut berkantong-kantong sepatu dan baju bermerek.
Dipan yang harus mereka rapikan sebelum mentari menyapa kota. Mereka tak boleh terlambat bangun. Semenit saja terlalu nyenyak,  serial makian pagi akan mereka santap dari sosok penguasa. Belum lagi adegan cibiran dan tatapan para pejalan bak raja yang terhalang laju singgasananya.
Kembali terbangun, tanpa peduli berapa gigitan yang melukis bulatan kemerahan di kulit tangan, kaki, dan wajahnya. Mereka tak mengenal wewangian di kamar mandi. Mereka tak tahu pesona aroma di dapur, saat pagi menyapa. Yang mereka tahu hanyalah kembali mengais ladang penghidupan. Kembali memanjakan lambung terkadang hanya dengan menikmati basi-basi di nasi.

Ah, tak tahulah. Apa yang telah aku perbuat di atas pijakan bumiku yang penuh gemerlap. Tetiba semua memekat, membuatku tercekat.
Tuan, bolehkah aku bertanya?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar