Jumat, 04 November 2016

Tentang 411 : Jelaga yang sampai ke ibu kota

Jam dinding di kamar saya menunjukkan Pkl. 23.35 WIB.

Sedari pagi sampai detik ini, pikiran saya melekat pada 411. Begitu riuh pikiran, seolah banyak sekali yang terlihat, terbaca, terdengar, dan terasa.

Terlepas dari segala hal yang mungkin remeh-temeh: suami belum pulang karena lembur, hujan lebat, ponakan yang kritis, rindu keluarga, deadline laporan, utang janji esok, persiapan camping, persiapan mengajar, dan PMS.

Saat ini, entah dada rasanya bergemuruh, marah, kecewa, bukan karena itu semua. Tapi karena rangkaian #AksiDamaiBelaQuran411 yang ramai dibicarakan publik, baik melalui media sosial maupun media massa.

Saya tidak berani mengklaim diri saya sebagai muslim yang taat sehingga merasa berhak menilai atau menghakimi, saya juga bukan pengamat politik yang handal, apalagi seorang aktifis ormas islam.

Saya hanya seorang warga negara Indonesia yang beragama Islam.

Hari ini saya melihat banyak ironi. Aksi damai yang digelar jutaan muslim di ibu kota, dilansir sebagai aksi yang damai, tidak merusak, tidak rusuh, tidak membuat si pelaku aksi lupa kewajibannya sebagai hamba Tuhan, aksi yang mengharukan dengan lantunan shalawat, asmaul husna, sampai gema takbir, aksi yang terorganisasi dengan baik sampai-sampai ada tim pembersih jalan, aksi yang bertolak dari kesakithatian karena ada indikasi negara melakukan pengabaian terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang pejabat publik.

Ironi, banyak teman sesama muslim terlihat begitu sibuk menunjukkan sikap sinis. Saya termasuk yang mengerti ketika ada yang tidak sependapat dengan jalan aksi damai ini, tapi sadarkah kita ketika berani menyatakan bersebrangan bahkan 'menghujat' aksi damai, di saat bersamaan bisa jadi kita telah berpihak pada sisi lainnya, dalam hal ini pihak yang dianggap "menistakan" agama yang kita anut.

Ironi, Bapak Negara yang juga muslim, enggan merangkul para ulama muslimin muslimat yang secara damai mendatanginya.

Bapak negara yan terhormat, kami tidak tahu banyak tentang apa yang tengah bapak pikirkan apalagi yang tengah bapak rasakan sekarang.

Tapi...

Pak, kami yang juga seagama dengan bapak tidak menuntut bapak berpihak penuh atas apa yang dituntut oleh aksi damai ini. Tapi bukankah bapak bisa sekedar menyambut dan menyatakan bahwa bapak hadir untuk mereka yang tengah lelah berjuang untuk agamanya, yang juga agama bapak?

Jangan salahkan kami jika kini kami teramat sakit hati. Teramat kecewa.

Hujan kembali turun, mungkin langit sedang berusaha mendamaikan jiwa jiwa yang marah. Atau langit pun mengamini kesedihan para muslim hari ini.

Wallahu'alam bii shawab.


Rindu (tapi)

Aku tidak menyangka akan berdiri lama dalam persimpangan ini.
Menatap perih, memeluk kesakitan yang teramat.
Tertegun dalam tanya, akan sampai kapan?

Duhai wanita, aku tetap menjunjung cinta ini untukmu.
Sampai kapanpun kan tetap begitu.

Andai kau lebih peduli pada relung yang penuh luka kecewa ini.
Mungkin tak sampai hati aku membuang muka.

Duhai wanita, doa akan tetap terpanjat.
Entah Tuhan suka atau tidak, aku masih saja tak usai kecewa.

Duhai wanita, aku rindu. Sangat merindu.
Tapi apa daya, aku terlalu takut kembali terluka.

Semoga kau tetap baik-baik terjaga lindungan Tuhan semesta.

4-11-2016