Senin, 29 Oktober 2012

cerita senja

Lihatlah senja tertegun menatap bumi.
bumi yang telah basah kuyup.
tak ada yang bisa ia lakukan, selain menyembunyikan khawatir atas bumi yang kedinginan.

perlahan gelap, tanah semakin beku kecoklatan.
isyarat takut dan resah kental menyeruak.
tertunduk perih direngkuh gulita malam.

perlahan-lahan dipaksa mengenyam kenangan yang hambar.
nyaris pahit tak terbantahkan.
sesekali tak mampu tak tertunduk, manut.
mengeja jejak-jejak luka, di sepanjang dinding langit malam

senja pergi, tanpa kata.
entah duka, lara, atau tiada yang ia bawa.

kembali,
bumi memecah tangisnya.


(ketika Bandung di dera hujan deras, 9 September 2012)

tarian pena tentang dia #3


Dia dan sakit hatinya hari ini ~

Sakitnya memang luar biasa. Tapi tentang sakit, dia sudah mulai terbiasa. Dia tak ingin berlebihan mendefinisikan rasa sakit. Dia tak bisa menghindar dari merasa sakit sampai kedalaman yang entah seberapa dalam, sangat dalam.

**

Inginnya dia menangis sepanjang hari, sepanjang malam. Tapi lagi-lagi dia tak mau terlihat sakit. Dia hanya ingin menikmati lukanya sendirian. Menikmati sudut-sudut harapan yang tersisa sebagai kenangan yang tak ingin kembali ia genggam. 

**

Patahan-patahan rasa yang membuat ia kerap kali meringis, memaksa dia harus seolah tak tahu. Dia memang terlalu keras kepala. Dia lebih memilih tertawa. Dan tanpa dia sadari tawa yang dia suarakan malah membuat patahan rasa sakitnya semakin berantakan, berserakan.

**

Hari ini dia benar-benar ingin berserah pada semua sayatan yang serupa bertubi-bertubi di bayang nadinya. Dia telah kalah. 

**
Lihatlah. Begitu khusyu dia menatap puing-puing deritanya. Berterbangan imajinasi-imajinasi indah tentang cita cintanya kini hanya serupa abu tak berguna. Sesekali dia berusaha merapikannya, satu per satu, ada yang disimpan, ada juga yang ia buang. Dia buang jauh, dengan sejuta ratapan kerinduan yang tersisa atas kekalahannya. Dia ingin merapikannya dengan benar. Bukan lagi menyembunyikan, tapi benar-benar menyingkirkan semua yang tersisa dan terserak di ruang hatinya. 

**

Dia benar-benar telah terhujam sakit, yang terlalu dalam. Dia benar-benar sakit. Dengan tertatih, ia mencoba menata ruang yang baru, dengan benar.
Dia kini telah pasrah atas semua yang akan terjadi. Dia pasrah dan hanya bisa menunggu sebongkah cerah yang mengindahkan nyata atas setiap sudut jelaganya.


(di sebuah perjalanan, 2012)

Tarian pena tentang dia #2


Dia mulai banyak bertanya. Ya, akhir-akhir ini dia begitu sering mempertanyakan hidupnya. Di perjalanannya menuju istana nyata akan mimpi-mimpinya, dia bertemu dengan macam-macam manusia. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang sok tahu dan hanya ingin tahu. Dia memang sangat pandai menyembunyikan hidup yang memusingkan. Kepandaiannya menjadikan ia sering dipuja. Tapi yang memuja, tak kenal dia sama sekali nyatanya, haha..!
**
Pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kadang nampak skeptis dan tak penting sama sekali. Ia masih saja bertanya, “adakah orang yang benar-benar menyayangiku?” jawabannya ya jelas ADA! 
Meskipun sebenarnya memang sulit untuk membedakan sayang dengan kasihan atau hanya sekedar kagum. Sampai saat ini dia memang sangat bodoh membedakan ketiganya. Itulah dia, manusia keras kepala yang kadang tak kenal kompromi ketololannya.
**
Contohnya hari ini. Dia hanya bisa berpura-pura merasa nyaman ketika orang yang katanya memujanya, menyayanginya, sama sekali tak bergeming melihat dia jatuh terkapar. Dia, lagi-lagi kecewa. Ketololannya sendiri yang membuat dia kecewa.
**
Lagi-lagi hidup memaksanya mengerti kesinisan yang nampak masih saja setia. sedihkah dia? Ya, dia begitu sedih. Tapi dia tak akan menangis. Dia tak mau menangis lagi. Yang dia inginkan hanyalah terus bertahan, tanpa dikasihani, oleh siapapun.
**
Dia ingin sekali melumpuhkan kesinisan hidup yang begitu setia. Dia hanya ingin memenangkan peperangan.  Begitu katanya, sembari menyembunyikan raut cemas yang berat. Ya, begitulah dia. Dia si keras kepala yang kadang terlampau yakin.



(Hari di september yang hujan, 2012)

kontemplasi basi

sudah pukul setengah dua pagi. pena ilmiahku kembali tak berfungsi. cecoret rasa saja yang mewujud di benak malam.

**

tetiba ingin merebahkan mimpi, menyimpannya sejenak. lelah dan tengah jengah berlari. ingin menikmati tarian bebas tanpa tuntutan apapun, bolehkah?

**

ini bukan malam pertamakalinya mimpiku mematung tak bernyawa. patah hati dan nyaris putus asa membuat langkah seakan kembali tak bermakna. namun tetap saja asing. tetap bak episode baru yang menunjukkan ketidakterampilanku menggenggam kendali untuk tetap berlari.
**

perkara salah dan benar, membebani rongga-rongga kognisi. aku seakan mengharamkan gelak tawa, riang nyanyian, dan indah tarian. mimpi memiliki terjemahan yang membingungkan. lalu apa sebenarnya mimpi itu? haruskah selelah ini? atau jangan-jangan aku pun tak benar-benar tahu tentang mimpi?

**

Ah, lagi-lagi kontemplasi basi yang hanya menambahkan rentetan tanya tak berkesudahan. 

**
malam sudah terlalu larut dan mengantuk untuk menjawab semua tanya busuk di benakku. malam telah nyaris menyerah pada gelap. sedang aku kembali ditinggalkan dengan arogan. menepis semua silogisme tak bernalar yang kuciptakan.

**
entahlah, mungkin aku hanya lelah.  aku sedang tak menikmati berlari.

(Relung pekat, 30 Oktober 2012)

sekotak kenangan indah

di sepanjang jalan purnawarman. di antara lampu-lampu temaram. di antara hiruk pikuk jalanan.
kau genggam tanganku erat. kau peluk harapan. kau basuh kasih sekisah.

aku begitu mengenang. aku begitu ingin terhenti dalam sebuah adegan. aku begitu memimpikan pengulangan dan kemudian tak lagi mengenang.

bila kau menjadi istriku nanti~
pahami aku saat menangis~
bila kau menjadi istriku nanti~

senada lirik yang kau senandungkan. lirik yang masih mendendang setia mengisi hari, mengungkap simpul-simpul senyum.

di sepanjang jalan purnawarman. aku begitu memimpikan pengulangan.

(Bandung, 29 Oktober 2012)



Minggu, 28 Oktober 2012

Kembali Hilang


: Kamu


Seutas tali yang tak temali harus meregang kemudian putus. 
Menyulut asa menjadi lebur tak mewujud. 
Mencipta pekat di langit sendu, badai di senja yang melaut.

Tertegun mematung menatap sebongkah siksa tak dinyana. 
Memahat kalimat-kalimat sesal tak tergapai nalar.
Kisah kita, kisah sebuah cita tak bernama, telah melingkar pengingkaran di ceruk mata.

Kisah yang memaksa cinta terhempas hilang. 
Memaksa cinta menggenang sedih.
Meneguk secangkir patahnya cita menghantar kehilangan.
 
(Telaga ceruk mata, 29 Oktober 2012)

Senin, 22 Oktober 2012

Secarik kerelaan


Begitu sederhananya kau datang, mungkin sesederhana itu juga kau akan pergi, Sayang.
Di sisi duniamu, aku terus menerka. Mengimajinasi citra rasa di lakumu.

Sayang, mungkin aku telah banyak menerima. Kini saatnya aku memberi. Tapi jika sebelum itu terjadi akan ada sebuah kepergian, aku relakan. Demi tulus dan sederhana yang tak mampu lagi kau jaga. 
Aku terima, sayang.
Mungkin telah salah aku menerka. Mungkin telah lupa aku menerima. Mungkin terlalu menyiksa laku yang kubuat.

Sayang, demi apapun yang kau rasa. Aku sungguh sayang kamu. 

Semoga kau masih sempat melawat  rindu yang tak pernah usai di rumahku, rumahmu kala itu.

(Pijakan asa, 15 Mei 2012)

Di suatu tanggal


: 03 April 2012

Ada sesuatu yang hilang di sini, jiwaku. Hampa mengaburkan rasa, dalam sekejap. Sejenak saja. Kematian seakan semakin mendekat. Perih mendekap hangat nafas yang terengah. Ia yang nyaris berhenti.

Tuhan, tidak di perhentian ini. Aku, masih ingin melaju. Menyingkap sakit di asa yang menyeruak ke langit-Mu. Menggantinya dengan ujung indah pencipta suka tak berkesudahan.
Dengan sejuta cinta, di palung ruang pengabdian.