Masih rajin kusambangi taman yang
dulu sering kita kunjungi bersama. Serupa sesak tak berkesudahan mengisi jeda ingatanku dengan
masa yang kujalani saat ini. Apakah sejauh itu perbedaan kita ? hingga
benar-benar telah hilang ruang pertemuan kita. Ruang yang susah payah kita tata
bersama.
...
Dulu. Guci-guci, hiasan dan
lukisan yang kusenangi begitu rapi kau simpan, begitu apaik kau jaga.
Dimanakah kamu sekarang, sayang?
Pertanyaan yang tak jua terjawab.
Bahkan remah roti sisa kita sekarangn hanya sibuk menatap tarian-tarian semut
yang membawa anak cucunya. Masih saja belum bisa menyerah, aku tetap termenung
menunggumu kembali, menata ruang romansa kita.
...
Tidaklah mudah menerima bahwa
tiada lagi kamu memiliki mimpi-mimpi yang dulu selalu kita agungkan. Sesak itu
masih terasa. Bahkan semakin dalam.
Tapi akan selalu kucoba untuk
kuat, tegar menanti luka tak bergeming kembali.
Biarkan saja, aku sedang tak
mampu berlari menghindari, kepergianmu yang nyaris membunuh setiap detikku. Ah,
masih saja kusimpan rapi harapan itu, sayang.
...
Perahu kita telah berhasil
menepi. Tapi bukan di pantai tujuan yang kita tentukan sayang.
Bukan di tempat yang sudah kita
rencanakan untuk berbulan madu. Melainkan di pantai yang kelak menjadi saksi
kita telah menyerah.
Kita telah saling membelakangi
menuju belahan bumi yang tak sama.
...
Kekasih, ingin sekali aku
berbalik dan menahan kepergianmu. Tapi tak cukup kuat aku mendengar kemungkinanmu
mengabaikan bahkan menolak untuk menaiki perahu kita untuk melanjutkan
perjalanan.
Sayang, sangat ingin kembali
bersamamu, tapi entahlah terlalu takut rasanya.
Terlalu takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar