Kamis, 18 Oktober 2012

Jejak di sebuah kepergian


 Masih rajin kusambangi taman yang dulu sering kita kunjungi bersama. Serupa sesak  tak berkesudahan mengisi jeda ingatanku dengan masa yang kujalani saat ini. Apakah sejauh itu perbedaan kita ? hingga benar-benar telah hilang ruang pertemuan kita. Ruang yang susah payah kita tata bersama.
...
Dulu. Guci-guci, hiasan dan lukisan yang kusenangi begitu rapi kau simpan, begitu apaik kau jaga.
Dimanakah kamu sekarang, sayang?
Pertanyaan yang tak jua terjawab. Bahkan remah roti sisa kita sekarangn hanya sibuk menatap tarian-tarian semut yang membawa anak cucunya. Masih saja belum bisa menyerah, aku tetap termenung menunggumu kembali, menata ruang romansa kita.
...
Tidaklah mudah menerima bahwa tiada lagi kamu memiliki mimpi-mimpi yang dulu selalu kita agungkan. Sesak itu masih terasa. Bahkan semakin dalam.
Tapi akan selalu kucoba untuk kuat, tegar menanti luka tak bergeming kembali.
Biarkan saja, aku sedang tak mampu berlari menghindari, kepergianmu yang nyaris membunuh setiap detikku. Ah, masih saja kusimpan rapi harapan itu, sayang.
...
Perahu kita telah berhasil menepi. Tapi bukan di pantai tujuan yang kita tentukan sayang.
Bukan di tempat yang sudah kita rencanakan untuk berbulan madu. Melainkan di pantai yang kelak menjadi saksi kita telah menyerah.
Kita telah saling membelakangi menuju belahan bumi yang tak sama.
...
Kekasih, ingin sekali aku berbalik dan menahan kepergianmu. Tapi tak cukup kuat aku mendengar kemungkinanmu mengabaikan bahkan menolak untuk menaiki perahu kita untuk melanjutkan perjalanan.
Sayang, sangat ingin kembali bersamamu, tapi entahlah terlalu takut rasanya.
Terlalu takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar