Hari
ini tepat usia kehamilan tiga puluh lima minggu. Tinggal menanti beberapa
minggu bahkan hitungan hari menjelang kelahiran dede bayi. Mohon doanya ya
kengkawan semua, agar persalinan lancar, sehat, selamat, normal, dan tidak
kekurangan satu apapun. Aaamiin Ya Rabbal’alamiin.
Yap,
ini tulisan pertama di blog ini tentang kehamilan saya. Tentang kehamilan ini
saya nyaris tidak mempublish di akun sosial media saya, bukan karena tidak bisa
atau tidak mau. Tapi karena saya dan suami sepakat untuk menahan ekspresi
euforia kehamilan. Sejujurnya sejak melihat dua garis merah di testpack, ingin
sekali mengumumkan pada dunia berita baik yang kami tunggu selama empat tahun
pernikahan. Ya, masih teringat jelas, jam tiga pagi di tanggal dua puluh enam
januari, kami melakukan sujud syukur, haru, menangis, dan bingung harus mengekspresikan
rasa bahagia dengan cara apa lagi. a lil bit drama, hhe..
Kenapa sampai harus ‘menahan’?
Karena saya tahu, ada banyak pasangan yang sedang menantikan kehamilan, bahkan sedang berada di masa-masa putus asa dalam penantian keturunan. Saya pernah ada dalam situasi itu bertahun-tahun. Dan saya tahu rasanya, ketika melihat teman-teman bahkan adik kelas yang baru nikah seminggu udah langsung tokcer hamil, mempublish kabar bahagia dan terhanyut dalam euforia mengumumkan kehamilan ‘tanpa’ empati. Ya, mereka tidak bisa disalahkan, kitanya aja yang baper keleus, hehe…
Tapi
dalam hal ini, saya memilih memposisikan diri jadi ‘si baper’ daripada memaksa
orang lain untuk turut berbahagia atas kehamilan saya.
Saya
menganologikan, menahan diri mempublish euforia kabar kehamilan seperti menahan
untuk makan nasi padang secara lahap di depan orang-orang yang udah lama
menderita kelaparan. Kan kasian. Mending nasi padang bisa dibeli, lha kalau
kehamilan?
Siapapun tahu, perkara hamil tidak hamil itu murni hak prerogatif Tuhan, bukan?
Lalu
setelah satu per satu keluarga dan teman dekat mengetahui kabar kehamilan,
semakin menyebar dari mulut ke mulut
(sok artis banget ya, haha)… Di luar dugaan, banyak teman-teman yang sedang dalam
penantian, menghubungi saya. Ada yang melalui whatsapp sampai DM di Instagram,
dengan pertanyaan yang arahnya sama: “Bagaimana caranya akhirnya kamu bisa
hamil?”
Pertanyaan
yang tidak bisa saya jawab. Karena saya merasa, ini bukan karena ikhtiar saya
yang sangat terbatas dan seadanya. Ini hanya karena kehendak Tuhan semata.
Bukan
sekisah dua kisah pasangan yang udah ikhtiar maksimal, mulai dari program hamil
di dukun beranak, sampai dokter di luar negeri, inseminasi, bayi tabung, dan banyak
lagi program canggih, kalau belum Tuhan kasih, ya belum aja. Artinya, kita
manusia tidak selamanya bisa mengcreate takdir dan mengubah kehendak Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan dari
teman-teman saya membuat saya bingung. Tapi rasanya ingin memberi jawaban,
setidaknya untuk membuat mereka optimis dan terus bahagia dalam penantian.
Saya jadi merenung:iya ya kok bisa hamil ya? Apa yang berubah dari pola hidup saya? Apakah karena pola makan? Atau karena apa ya?
Lalu saya ngobrol santai dengan suami
tentang ini. Jika ditanya apakah saya mengikuti program kehamilan? Tidak. Kami belum
sempat mengikuti program hamil, karena selalu terjegal jadwal pekerjaan suami. Selain
itu, daftar antrean dokter yang sampai harus sebulan on waiting list membuat
kami nggak balik-balik lagi hehe..
Pernah satu kali kami memeriksakan
kondisi suami ke Spesialis Andrologi, sembari menunggu antrean Obgyn,
alhamdulillah suami sehat-sehat aja. Dokter hanya memberi vitamin. Belum sempat
kembali untuk melakukan cek kualitas sperma, sudah terjegal lagi dengan jadwal
suami yang banyak mengisi training di luar kota.
Oiya, setelah berbincang dengan
dokter spesialis andrologi tersebut didukung obrolan saya dengan teman yang
berprofesi dokter, ternyata rute yang baik bukan memeriksakan perempuannya
terlebih dahulu, tetapi cek dulu kondisi suami. Ibarat perempuan itu tanah dan
benihnya itu dari suami, mau sesubur apapun tanahnya, kalau benihnya tidak
bagus, maka akan terhambat pertumbuhannya. Begitu katanya. Meskipun tentu
banyak faktor yang mengakibatkan kesulitan hamil bagi perempuan.
Hal ini saya informasikan agar kita
tidak terjebak pada stereotipe masyarakat yang serta merta menuduh si perempuan
lah yang salah kalau nggak hamil-hamil.
Lanjut ya… ke pertanyaan, kok saya bisa hamil?
Setelah ngobrol-ngobrol sama suami. Kami
sepakat jawabannya: TIDAK TAHU!
Tapi, dengan sangat sok tahu, kami
mengira kalau kehamilan ini dikarenakan kami sudah dalam kondisi berpasrah
tidak lagi memikirkan dan meratapi harapan kami untuk punya keturunan. Kami benar-benar
fokus saling membahagiakan. Akhir tahun 2017 suami dan saya benar-benar
membebaskan pikiran. Kebetulan suami pun sedang tidak banyak beban pekerjaan,
saya juga sedang off bekerja (off yang berkepanjangan haha..), kami seperti
manusia yang benar-benar cuti dari berpikir keras.
Ketika melakukan hubungan suami
istri pun kami tidak lagi membebani diri dengan kalender tanggal kesuburan. Melupakan kalimat “semoga kali ini berhasil”
dan benar-benar bisa dibilang “bodo amat” yang penting bisa saling menemani dan
membahagiakan satu sama lain. Just enjoy the flow.
Ya, itu jawaban kami. Ketika saya
share ke temen-temen yang bertanya, beberapa dari mereka langsung menanggapi, “kayaknya
iya deh. Suami kerjanya underpressure.” Ada juga yang menanggapi dengan, “kayaknya
iya deh. Kami masih suka mikir kalau lagi berhubungan suami istri.” Dan ada
juga yang mengaku kadung stres dengan pertanyaan “kapan punya anak?” dari orang
sekitar yang akhirnya membuat mereka lupa untuk bahagia. Terbebani dengan
pertanyaan itu membuat mereka memandang “punya anak” selevel dengan “tugas
skripsian” atau selevel dengan “PR matematika sulit yang bisa selesai kalau
rajin belajar atau manggil guru les” God!!!
Jadi, untuk temen-temen yang sampai hari ini belum dikaruniai kehamilan – keturunan, tetaplah bahagia dan selimuti hari-hari dengan penuh kesyukuran. Karena mau tidak mau, tugas kita hanya menjalani hari ini, mengalihkan penantian dengan melakukan hal-hal baik, semangat menatap harapan, bukan meratapi harapan.
Tetap
kompak sama pasangan ya.
You’re
not alone. Never walk alone.
Uly - your friend.
Alhamdulillah mbakkk.. Selamat ya, semoga lancar persalinannya.. Anak dan ibu sehat semuaa...
BalasHapusIya mbak, aku juga suka ngerasa ga enak gt, apalagi istilahnya kalo msh test pack atau kecil bngt di usgnya.. Biasanya baru di atas 30w baru agak ngasih hint gt di sosmed... Selain itu kasih taunya ke temen deket aja... Walaupun aku cuma sempet kosong setahun, tp rasanya gimana gt ya, menjaga perasaan orang...
Suka suka sukaaaa... menginspirasi bgt teh tulisannya. Bikin semangat �� semoga lancar persalinannya yaa.sehat dan selalu bahagia!
BalasHapus