Sabtu, 07 Desember 2019

Tinggalkan hubungan yang hanya meracuni kamu, sayang..!



Saya akan mulai dari dua tipe hubungan yang umum ada di sekitar kita, yaitu hubungan yang sehat (healthy relationship) dan hubungan tidak sehat (unhealthy relationship). Hubungan yang sehat dicirikan oleh hubungan yang membuat keduabelah pihak merasa aman, nyaman, memberi ruang ekspresi yang positif, saling support, tetap berani tampil sebagai diri sendiri. 

Sedangkan hubungan yang tidak sehat, bisa dikatakan memiliki ciri sebaliknya. Biasanya ditandai dengan rasa tidak aman (insecurity feelings) dalam menjalaninya, dihantui ketakutan, kecemasan, sulit mengekspresikan diri sendiri.

Perlu digarisbawahi bahwa hubungan yang sehat bukan berarti hubungan (baik itu pertemanan, asmara, maupun keluarga) yang tanpa konflik lho ya. 
Hubungan yang sehat pun tetap akan menemui konflik, mengalami perdebatan, menjumpai perbedaan dan gesekan cara pandang. Yang membedakan adalah dalam hubungan sehat tidak ada sikap-sikap yang meng-undergrade satu sama lain, melainkan sikap penerimaan bahwa konflik dan perbedaan adalah satu hal yang natural terjadi dalam hubungan antar manusia.

Nah, sekarang kita akan beranjak menjawab pertanyaan, apa sih toxic relationship itu?


Toxic relationship merupakan salah satu bentuk dari hubungan yang tidak sehat. Agak rancu sih kalau kita terjemahkan bulat-bulat menjadi hubungan beracun, hehe.. 
Toxic relationship di sini bisa diartikan sebagai hubungan yang mengkontaminasi kebahagiaan, kenyamanan, cara kita memandang diri sendiri, dan cara pandang kita terhadap dunia.
Ada kata mengkontaminasi nih, artinya ya udah gak jernih lagi. Ibarat minuman, kalau sudah terkontaminasi racun tapi kita tetap minum setiap hari, akan sangat membahayakan kesehatan, bukan? Sama halnya dengan toxic relationship, kalau terus menerus dijalani, akan mengganggu kesehatan psikofisiologis seseorang.

Memangnya apa sih tanda-tanda dari toxic relationship ini?


Kalau dipereteli secara detil, banyak sekali tanda dari toxic relationship ini. Tanda utama adalah ketika kita sudah mempertanyakan keberhargaan diri kita yang berlanjut pada ketidakberanian menjadi diri sendiri dalam menjalani hubungan.

Yes, a matter of self-valueing!


Kalau hubungan kita dengan pasangan, dengan atasan, dengan rekan kerja, dengan siapapun deh ya, sudah membuat kita bertanya: “gue ini berharga gak sih?; Gue ini layak dihargai gak sih?” lalu berlanjut ke statement-statement seperti: “gue emang bukan siapa-siapa; gue terima karena emang dia lebih baik; gue gak punya potensi” artinya, memang kita sudah terjebak di sebuah toxic relationship.

Tanda lain yang cukup banyak terjadi adalah mengalami kecemasan, ketakutan, dan insecurity feelings.


Misalnya merasa ketakutan setiap mau ketemu pacar, teman, atau orang tua. Merasa cemas ditanya ini itu. Dan merasa tidak aman dalam menjalani hubungan.

Terjadi perilaku kekerasan, baik fisik maupun mental.


Sekarang muncul istilah KDP (Kekerasan Dalam Pacaran) dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dan ini memang banyak terjadi. Banyak remaja perempuan sampai orang dewasa perempuan yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya sendiri. Hal ini menunjukkan tiga unsur penting yang menandakan toxic relationship. Pertama, ada pihak yang memegang kendali dalam hubungan secara berlebihan. Kedua, ada pihak yang merasa tidak aman dalam menjalani hubungan. Dan yang ketiga, ada perilaku abusive dalam rutinitas menjalani hubungan.

Oleh karena itu, kalau ada di antara pembaca tulisan ini yang mengalami KDP atau KDRT, ini artinya sudah fix hubungan anda merupakan toxic relationship. Dan sangat berbahaya untuk kesehatan fisik dan mental anda.

Apakah toxic relationship ini sangat berbahaya? Lalu bagaimana cara mengatasinya donk?


Ya, jelas berbahaya apalagi jika tidak segera diatasi. Bahayanya apa? Banyak yang bisa diakibatkan oleh hubungan yang tidak sehat ini. Saya membaca beberapa hasil penelitian, sikap dan perilaku negative yang berulang dalam toxic relationship bisa mengakibatkan memperburuk ketidakmampuan mengelola emosi, mempengaruhi pencapaian akademik dan karier, sakit secara psikologis yang juga mempengaruhi kesehatan fisik, depresi, sampai pada ide bunuh diri pada salah satu atau kedua belah pihak.

Terlebih lagi kalau ini terjadi pada keluarga, maka dapat memberikan model yang kurang baik pada anggota keluarga lain. Sehingga dapat mengakibatkan anggota keluarga lain yang lebih muda (seperti anak, adik, keponakan) meniru cara mengatasi masalah dengan cara-cara yang toxic. 

Terus solusinya gimana donk kalau kita sudah terjebak dalam hubungan yang toxic?


Hmm… I feel you (whoever felt this way), kalau mengatasi toxic relationship gak semudah ngetik di keyboard lalu jadi blogpost kayak begini. Tapi percayalah, sesulit-sulitnya kamu keluar dari hubungan yang merusak, akan lebih sulit lagi kalau kamu tetap meneruskan hubungan itu.

Pertama adalah akui dan sadari bahwa kamu memang berada dalam hubungan yang tidak sehat. Artinya, kamu harus menyehatkan diri. Feeling is healing.

Kedua, berani menerima tanggung jawab untuk berubah. Terima bahwa ini bukan sepenuhnya salah kamu ataupun salah pasangan mu. Tapi yang harus bertanggung jawab atas hidup kita hanyalah diri kita sendiri, bukan?

Ketiga, mulai ambil langkah pertama.

Bisa jadi kamu yang melakukan hal-hal toxic, maka berubah dari hal-hal terkecil. Sampaikan ke pasangan bahwa kamu ingin berubah. Minta bantuan untuk mengingatkan dang mengoreksi dengan cara yang membuat kamu nyaman.

Namun jika kamu adalah pihak yang merasa menjadi ‘korban’, maka mulai tegas menyampaikan bahwa kamu tidak nyaman dengan sikap dan perilaku pasanganmu. Sampaikan apa yang kamu harapkan untuk berubah.
Jika bisa diperbaiki, perbaiki. Any relationship worth to fight kok.
Kalau nyatanya masih tidak ada perubahan, maka tinggalkan. 
Leave the circle! Safe yourself.



Dan langkah terakhir, jangan pernah enggan untuk mengakui dan mencari pertolongan jika kamu sudah tidak sanggup menghadapinya sendirian. Speak up and seek for help!
Meminta bantuan ke professional seperti konselor, psikolog, guru, orang tua, dan orang lain yang kamu anggap mampu membantu, adalah sesuatu yang manusiawi. It is ok to be not ok.

Stay aware kalau hubungan yang sehat hanya akan terjadi jika kedua belah pihak saling memuliakan, menghargai, dan mendukung. Beri ruang untuk mencintai satu sama lain, juga untuk mencintai diri sendiri. Dan itu penting. Karena hubungan tidak akan berhasil jika tanpa rasa cinta pada diri sendiri yang menjalani hubungan tersebut.
Duh, membahas toxic relationship ini emang seru dan gak bisa singkat-singkat. Untuk diskusi lebih lanjut, bisa di lain waktu ya.


See you when I see you,
Your friend,
Yuli Nurmalasari / Uly.