Tak perlu kau menjadi sejarawan
untuk mengingatkanku tentang cerita lalu yang begitu indah. Karena tanpa kau
ingatkan pun, aku memang tak pernah lupa.
Tak perlu kau menjadi ilmuwan
yang menyelidiki, apakah masih ada namamu di hatiku. Karena tanpa itupun, aku
yakin, kau telah melihat betapa tak mungkin ku menghapusnya.
Tak usah kau menjadi pujangga
untuk mengumandangkan kerinduan. Karena tanpa itu pun, aku telah tahu bahwa semua
kalimatmu tak lebih dari sebuah karya sastra.
Tak perlu kau menjadi guru untuk
meyakinkanku bahwa kau bisa mengajarkanku banyak hal. Karena tanpa itu pun aku
telah banyak belajar darimu. Setidaknya tentang bagaimana merelakan sebuah kepergian,
bersahabat dengan kehilangan, dan menyusun remah-remah kekuatan sendirian.
tak perlu lagi kau buktikan apapun. Tak usah kau tunjukkan apapun.
Jika sejarah cita dan cerita kita
di masa lalu tak lantas membuat kita besar, haruskah aku menyetujui pengulangan?
Jika cinta itu telah hancur
karena sebuah kesalahan yang begitu cantik terencana, haruskah aku turut
memeluk kerinduan yang kau senandungkan?
Tidak. Jawabannya, tidak.
Ruangan di hati ini sudah begitu
rapi kutata kembali. Memang masih ada lukisanmu disni, yang kunamai tokoh masa
lalu. Ya, hanya masa lalu. Masa lalu yang tak ingin aku ulang kisahnya.
Sesekali kuizinkan kau bertamu,
tapi tak untuk tinggal. Pergilah, bawa kembali semua sajak-sajak indahmu,
lagu-lagu cinta yang kau siapkan tak lagi ingin kudengar.
Pergilah. Tak perlu kau lakukan
apa-apa lagi. Tak perlu kau sapa kembali.
(Ruang keyakinan, 11 – 11 – 12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar