Biru, kau pasti sedang
mendengar lagu bersyair indah milik kita, dulu.
Baiklah, aku ralat. Lagu yang sama, tapi indahnya bukan
milik kita lagi.
Tapi aku begitu tahu kau
masih suka mendengar lagu itu. Meskipun aku tak tahu pasti kenapa kau masih
senang melakukannya. Bisa jadi karena kau masih merindukan kisah-kisah indah
kita, dulu. Atau mungkin juga karena kau hanya sebatas menyukainya sebagai musik
ber-chord abadi. Ya, kau pernah bilang padaku dulu. Kau suka lagu itu karena
chordnya, bukan syairnya. Kita menyukai lagu yang sama dengan alasan yang
berbeda.
Kita memang berbeda. ah, aku
telat menyadarinya.
Biru. Aku selalu merasa
senang memanggilmu , Biru. Serupa senang kala melihat langit tanpa awan, luas
tanpa warna lain, hanya biru.
Kamu ingat tidak, ketika
kita sama-sama melukis kelinci dan kuda terbang di langit biru itu?
Aku bahkan masih mengingat
semuanya tak terkecuali. Tawamu kala menonton Tom & Jerry, sungging
senyummu seusai membacakanku puisi, pujianmu akan masakanku, belai lembutmu
kala menyapu peluh lelahku, dan punggungmu yang tak kalah memesona kala kau
pergi – tak kembali.
Biru- seluruh hatiku. Tak
perlulah kau sekejam ini. bolehkah aku memintamu melawat hatiku yang hanya
berwarna biru? Sekali saja.
Setelah itu, kembalilah
pergi tanpa memunggungiku seperti itu.
Ah, aku memang terlalu
banyak menuntut. Betapa aku merindu Biru.
Fiksi, 05 Juli 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar