Rabu, 18 November 2020

IT'S OK TO BE NOT OKAY: EMANG KADANG SENYEBELIN ITU

Katanya, waktu yang akan menjawab. 

Ada juga yang bilang, biar waktu yang memberi tahu.

kalimat serupa lain mengungkap, waktu yang akan menyembuhkan. 


Benarkah begitu?

**

Semakin dewasa, hidup memang bukannya semakin mudah tetapi semakin rumit dan membingungkan. Ini sesuatu yang alami dan penanda kita diberi panggung untuk mendewasa dan menjadi lebih bijak. Karena kalau soal kehidupan tidak tambah rumit, artinya kita stagnan di satu titik itu-itu saja. Meskipun tidak semua orang menyikapi kerumitan dengan tepat. Sekedar marah, frustrasi, dan terus-menerus mempertanyakan keadilan Tuhan - misalnya, membuat proses mendewasa ini jadi momok yang menyebalkan dan menyeramkan. 

Hei, tapi memang tidak semudah itu untuk menerima, sih. Ada kalanya kita harus mengungkapkan hidup semenyebalkan itu. sebelum akhirnya kita menertawakan momen-momen menyebalkan itu hehe..

**

Akhir-akhir ini, I found so many things that show me how sucks life is. I met annoying people. Actually, the people who make me upset, angry, and a lil' bit disappointed. And let me tell you a reflection after i deal with these.

**

Owkay, sebelum lanjut, tentu bentuk perilaku menyebalkan itu emang bisa beda-beda, semisal perilaku irresponsible di saat kita merasa sudah sangat loyal; jadi korban cheating; tidak mendapat apresiasi atas kerja keras; disepelekan; tidak menerima feed-back sesuai harapan; komplain ke sistem kerja; or anything else yang tentu kita punya standar dan kondisi yang berbeda sehingga kita bisa bilang itu "senyebelin itu". And it happens almost everyday, kan? Hanya kenapa di satu hari ini bisa begitu menyebalkan, di hari lain kejadian sama bisa jadi biasa saja ya? 

I guess, it because we'are all human yang dinamika pribadi kita ups & downs, energi kita tidak selamanya on 100%, dan ekspektasi kita tentu berbeda terhadap satu orang ke orang lainnya - dari satu situasi ke situasi lainnya. Contohnya, tugasmu diplagiasi sama orang lain dengan tugasmu diplagiasi sama temenmu sendiri, rasa sakitnya beda donk?! Contoh lain, temen ngambek sama pacar ngambek, beda jg donk paniknya? hehe.. Nah itu contoh dari perlakuan yang sama bisa jadi beda efeknya ke kita. 

At first, saat ketemu orang atau ngalamin kejadian yang 'nyebelin' kita pasti memandangnya sebagai: happiness-distraction, mengganggu, dan ingin marah sampai ubun-ubun. And it's normal. Ternyata emang normal. Ya masa, disakitin atau dikhianati malah cengengesan, kan horor ya! 

Tapi, kita kadang memilih meredam itu dengan cara melakukan 'cutting-off' emosi negatif alias terburu-buru memotong jalur ekspresi emosi. Memaksa diri jadi positif, memaksa diri langsung happy, dan sembuh. Big No..! Remember, we're all are human, bro-sist.

So, harus marah-marah? gelesotan di trotoar? maki-maki yang bersangkutan? naik pohon lalu teriak-terika? atau lari ke pantai belok ke hutan? 

Ya nggak gitu juga :D

**

Well, saya akan coba share tahapan yang bisa kita ambil kalau kita sedang merasakan momen-momen menyebalkan dalam kehidupan yang fana ini #ealaah!



#1 FEEL THE EMOTIONS. 

Merasakan emosi-emosi yang muncul tanpa menilai dan menghakimi adalah langkah awal kita bisa berdamai. saya ulangi ya: tanpa menilai dan menghakimi. Emosi negatif itu tidak sepenuhnya salah lho, kadang kita perlu emosi negatif sebagai signal kalau kita harus waspada terhadap sesuatu, atau kita harus berubah membentuk perilaku baru yang lebih baik. But, remember: it took process. 

Kalau marah, rasakan kemarahannya. sadari kenapa saya semarah ini ya, saya marah terhadap perilakunya yang begini - begitu, saya tidak bisa menerima ini dan itu. dan seterusnya. rasain gitu sakitnya tuh kayak apa. sedalam apa. 

Kalau marah itu kita analogikan benda, maka kita tatap itu si marah lamat-lamat, amati.. jangan buru-buru dibuang atau dihindari. 

#2 NAME IT. 

Menamai emosi yang muncul mungkin terasa aneh di kultur kita, tapi ini totally works sebelum kita memasuki tahapan mengelola emosi, lho. 

Kesal, marah, sama kecewa adalah tiga ekspresi negatif terhadap sebuah perlakuan atau kejadian. Tapi, tiga-tiganya kalau kita cermati memiliki level kedalaman yang berbeda. 

Kesal -- low level

Marah -- medium level

Kecewa --- hight level 

iya kan? 

Nah, seringkali kegagalan menamai perasaan, membuat kita gagal juga memberi ekspresi yang tepat. Bisa jadi lebay, bisa jadi nyepelein. 

Misalnya, "ah cuman putus cinta biasa aja kali, aku hanya kesal."

Di sisi lain, "Duh aku kecewa karena dia terlambat 10 menit."

Heloooo..!! Do you find any mistake kan? kalau ini terus menerus dilakukan, dia hanya akan meredam patah hati, buru-buru menghibur diri, cari pacar lagi, padahal luka belum sembuh #Eaaa

Dan dia akan baper maksimal menanggapi temannya yang telat 10 menit. Lebay menjadi lifestyle deh. Ups!

#3 ACKNOWLEDGE IT. 

Setelah berhasil merasakan dengan penuh kesadaran. Menamai setiap emosi yang muncul. Maka jangan skip untuk mengakui apa yang kita rasakan. Mungkin ini jarang kita lakukan. Kalau sedang marah, kita tidak mengakui. "ih ngapain aku marah sama dia, gak penting!" padahal emang marah. dan marah itu gak apa-apa.. 

Akui kalau sayang, akui juga kalau benci. Fair enough right?

Kemampuan mengakui perasaan akan membuat kita paham bahwa kita sebagai manusia itu punya sisi lemah sekaligus kekuatan secara psikologis. Contohnya, silahkan perhatikan orang di sekitar kita yang sering menyebutkan kalimat: "aku orangnya selalu positif sih, gak pernah ngurusin orang" saya yakin orang ini tidak baik-baik saja. Karena merasakan emosi negatif, peduli sama orang, adalah hal manusiawi sekali. atau ada yang selalu bilang: "aku harus selalu kuat", saya meyakini orang seperti ini gak sekuat itu, seringkali ybs akan mengalami kekosongan hidup karena terus menerus melawan dan menolak 'fitrah kelemahan' yang sebenarnya sangat manusiawi - as human being.

Perkembangan psikologis emang nggak keliatan pertumbuhannya. Nggak seperti kaki yang membesar, badan yang meninggi. Tapi akan keliatan dari perubahan saat kita menjalani kompleksitas hidup. Semakin banyak menolak emosi negatif, maka akan sulit untuk mengembangkan emosi positif. 

#4 EXPRESS IT.

Step selanjutnya adalah mengekspresikan kemarahan setelah proses pengendapannya yang tentu memakan waktu. Ekspresi emosi yang dimaksud adalah yang tepat dan sehat. Karena ada juga ekspresi yang kurang tepat dan tidak sehat. Kalau kita marah lalu banting barang di depan orang, tentu ini bentuk ekspresi, tapi tidak sehat dan tidak tepat. 

contoh ekspresi marah yang tepat: menyampaikan kemarahan kepada yang membuat marah dengan lebih terkelola. "aku kurang suka perilakumu yang bla bla bla karena aku sedang dalam kondisi bla bla bla." - misalnya. 

Memang kadang, kita perlu ekspresi lain, karena sekalipun sudah menyampaikan ketidaksukaan, orang yang menerima malah memberikan feedback yang kurang sesuai. Dan kita harus siap dengan ini sih, ketika memilih menyampaikannya langsung. 

tapi tidak selamaanya kita punya kesempatan untuk menyampaikannya, bisa diganti dengan menuliskannya, berteriak di kamar mandi, melakukan self-talk, atau curhat ke orang yang tepat. 

Intinya, setiap emosi negatif harus diekspresikan ya.. kita pasti akhirnya menemukan ekspresi-ekspresi yang sehat dan tepat. Remember, it took process.

#5 CONTROL AND REBUILD THE EMOTIONS.

Tahap akhir, tentu ini yang selalu kita inginkan. mengontrol, mengelola, dan membangun kembali emosi-emosi yang lebih menyenangkan. Ciri-ciri orang yang terkontrol emosinya, ya bisa melakukan step-step sebelum ini dengan lebih alamiah dan mudah. Intinya, kita bisa mengontrol dan mengelola emosi tidak sekedar dengan "ngeh" dan "sadar" saja, tapi perlu LATIHAN SECARA SADAR. Mulai dari step satu sampai seterusnya. Siklusnya akan terus berputar, menumbuhkan kita yang lebih baik dan bijak. Remember, it took process!

**

Selamat berproses, bertumbuh dari momen-momen nyebelin saat ketemu orang-orang yang kita anggap nyebelin hehe.. 


Your friend, 

Uly.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar