Selasa, 14 Maret 2017

Candu Internet

Dunia maya atau virtual semakin menarik perhatian saja. 

Pada tahun 2014, saya berhasil dibuat resah oleh problema penggunaan internet oleh para pelajar remaja, khususnya di sekitar saya. Keresahan yang akhirnya berbuah sebuah tesis yang membahas tentang salah satu kecenderungan perilaku kompulsif dalam mengakses internet, dikenal dengan istilah compulsive internet use.

Oke, we’ll not talk about that like we’re in the research class ya. 
I dont want to bored my self hehehe... 


jurnal tentang riset compulsive internet use yang saya tulis sudah bisa diakses di : http://journal.upgris.ac.id/index.php/EMPATI/article/view/1159.


Monggo diakses, and feel free to ask/discuss/even share via email saya ya.

Candu media sosial


Misalnya saja, tentang media sosial, segmen penggunanya sekarang ini tidak terbatas pada remaja, bahkan seluruh kalangan dan usia menggunakannya secara intensif. Beberapa situs media sosial bahkan sudah memiliki aplikasi yang bisa diunduh di smartphone, notifikasi tang ting tung seolah terburu-buru dibuka, kita tidak lagi perlu ke warnet atau membuka web-browser hanya untuk mengecek berapa likers status facebook kita, apa saja komentar di instagram, berapa love di path, berapa subsriber youtube. Telepon pintar yang sekarang sudah merata ke seluruh kelas sosial membuat semua orang, siapapun, dimanapun bisa mengaksesnya tanpa batas (kecuali terbatas signal, kuota, dan pulsa haha.. )

Lalu apa salah kalau sekarang penggunaan media sosial semakin ‘diinstankan’?

Bisa iya, bisa tidak. Tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.

Kecepatan akses internet sudah terbukti berjalan dengan baik.


Kuota internet semakin murah, ditambah lagi fasilitas supermurah untuk para kaum urban yang sudah sangat dimanjakan dengan jaringan 4G, bahkan katanya sampai 4,5G. Apalagi hanya sekedar mengakses media sosial. Muraaaah pake bangeeett. Semakin banyak provider yang ‘menggratiskan’ kuota untuk mengaksesnya. Belum lagi spot wifi bukan lagi barang langka. Nongkrong di cafe sambil ngopi 10 ribu saja sudah bisa mendapatkan fasilitas wifi gratis, kan?

Kita sangat diuntungkan. Kecepatan mendapat informasi melalui internet, tak terbantahkan. Selama signal, kuota, baterai tersedia.

Nyasar di jalan, klik Google Maps, lancar pulang. Nggak sibuk nanya-nanya orang yang bisa jadi jutek. Kita menjadi lebih suka bertanya pada “mesin” dengan “jempol” kita.

Bingung cari barang? Klik beberapa vendor online shop, harga sudah banting-bantingan gak karuan, selesai.

Tapi bagaimana dengan KETEPATAN-nya?


Ini masih menjadi PR besar bagi kita. Terutama di Indonesia. Rentetan fakta tentang sudah meratanya pengguna telepon pintar, sudah murahnya kuota, semakin mudahnya mengakses internet, masih belum diimbangi dengan user attitude alias sikap para penggunanya.

Tiga aspek internet yang meliputi anonimity (user bebas memanipulasi identitas), affordability (masih terbayar alias murah), dan accesibility (mudah terakses) seolah menjadi boomerang bagi kita para usernya.

Tidak heran ketika ujaran kebencian sudah seperti sampah di sungai-sungai ibu kota. Mana sampah mana air, tercampur baur tak terkendali. Tidak heran bertaburan komentar pedas tak berperasaan di berbagai postingan media sosial. Karena si komentator bisa lari kapan saja, tidak head-to-head, tidak face-to-face. 

Mendadak semua orang berani memuat tanda seru. Padahal jika diajak adu argumen di dunia nyata, bertatap muka, bisa jadi jangankan berkomentar, menatap pun tak berani. Ini media sosial. Ini karena kita memiliki ruang untuk menjadi siapapun, semua mudah dimanipulasi. Dan ini tidak sehat!

Para remaja terjebak dalam zona menantang ketika berproses mencari jati diri. Saat ini, tantangan dunia maya menjadi satu hal yang sulit ditaklukan. 

Definisi cantik menjadi merata, putih mulus. Di dunia nyata harus didapat dengan perawatan kecantikan, biayanya tidak murah, waktu yang dibutuhkan tidak sebentar. Akhirnya banyak yang setia menggunakan aplikasi editor foto yang bisa membuat impian cantiknya terwujudnya hanya dalam hitungan menit.

Foto – cekrek – edit – post! 
Banyak yang menyukai fotonya, banyak yang memuji, “cantiknyaaa”. 
Terus berulang, karena ternyata satu klik di tombol “like” dan tulisan di kolom “komentar” memiliki candu yang luar biasa.

Masih untung kalau hanya berhenti di situ saja. Banyak yang obsesinya berlanjut di dunia nyata, tak suka wajahnya yang sawo matang, menghalalkan cara untuk mewujudkan “self-image” seperti yang sudah terwujud duluan di dunia virtual. Ah, tidak jarang kan demi perawatan kecantikan dan gaya fashion mahal, para remaja putri rela menjadi bla bla bla - in a negative ways ? (tau dong maksud saya. too rude to be written over here)

Ini realitanya. Sudahlah kita abaikan para generasi emak-emak bapak-bapak yang shock dengan mamang pesbuk, sampe tak terkendali posting pose-pose yang kekanak-kanakan, selfie in every moment, tanpa filter segala diupload, karena para oknum emak bapak ini sudah asik dengan candu media sosial, hingga lupa usia, abai terhadap integritas.

Yang harus kita pikirkan sekarang apa? Mereka generasi yang masih ranum, berkembang, dan tumpuan negeri.
give your help!

Eh, serius amat sih. Ya iya lah serius.

Kebayang nggak kalau akan semakin banyak remaja tumbuh tanpa sadar candu ini, lupa membangun jati diri, terus menerus mendambakan kehidupan seindah yang diposting orang lain, tumbuh semakin ahli dalam berkomentar  bukan malah bertindak membangun masa depan, atau lebih bahaya mereka tumbuh menjadi generasi ‘halu’ yang tidak lagi bisa membedakan kehidupan nyata dan kehidupan virtual. 

Shock ketika menghadapi tantangan dari manusia yang dia temui, karena sudah terbiasa mengekspresikan segala perasaan dan pemikirannya melalui jari jemarinya saja.

Mereka menjadi sangat rentan stres ketika listrik mati, kehabisan batre, dan sesederhana harus bertanya ketika nyasar di jalan, karena sudah terbiasa berkomunikasi dengan mesin. Mesin yang prinsipnya kaku dan absolut. Sementara manusia sudah fitrahnya terlahir sebagai makhlus sosial, harus mampu adaptif terhadap perbedaan, dinamika, fleksibilitas sosial, dan segala faktor yang “tidak pasti”.

jadilah SOLUSI!

Mereka butuh kita yang [katanya] sudah dewasa. Berhentilah terlalu mudah men-share konten-konten yang belum terbukti kebenarannya di media sosial. Mulai dari jari jemari kita; seimbangkan konten dunia virtual dengan posting hal-hal bermanfaat saja; siapapun adalah public-figure di media sosial, sadarilah banyak yang melihat, menonton, bahkan meniru.

Betul bahwa akun media sosial apapun yang kita buat bebas untuk kita apakan, tapi bukankah panggilan nurani untuk peduli pada para pengguna lainnya pun sangat wajib untuk dikedepankan? Bisa jadi para pengguna lain itu adalah anak-anak di bawah umur, remaja yang sedang terjebak dalam kebingungan, juga orang-orang yang sedang butuh penguatan positif.

Yuk! Kita tidak akan berbicara UU ITE atau solusi dalam konteks treatmen psikologis. Kejauhan. Kelamaan. 

Mulai dari kita sendiri, jempol kita sendiri, jari jemari kita dulu.

Saya pikir bukan hanya saya yang jengah dengan para user yang seolah sulit untuk mudah menyerah pada artikel hoax hanya dengan sekali baca, panik kalau harus menunggu dan berpikir sejenak sebelum menggerakkan jari-jemarinya ketika membuat atau merespon sebuah postingan.


Mari peduli. 
Kalau bukan mulai dari diri sendiri, mulai dari mana lagi?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar