Dunia maya atau virtual semakin
menarik perhatian saja.
Pada tahun 2014, saya berhasil dibuat
resah oleh problema penggunaan internet oleh para pelajar remaja, khususnya di
sekitar saya. Keresahan yang akhirnya berbuah sebuah tesis yang membahas
tentang salah satu kecenderungan perilaku kompulsif dalam mengakses internet,
dikenal dengan istilah compulsive internet use.
Oke, we’ll not talk about that
like we’re in the research class ya.
I dont want to bored my self hehehe...
jurnal tentang riset compulsive internet use yang saya tulis sudah bisa diakses di : http://journal.upgris.ac.id/index.php/EMPATI/article/view/1159.
Monggo diakses, and feel free
to ask/discuss/even share via email saya ya.
Candu media sosial
Misalnya saja, tentang media sosial,
segmen penggunanya sekarang ini tidak terbatas pada remaja, bahkan seluruh
kalangan dan usia menggunakannya secara intensif. Beberapa situs media sosial
bahkan sudah memiliki aplikasi yang bisa diunduh di smartphone, notifikasi tang
ting tung seolah terburu-buru dibuka, kita tidak lagi perlu ke warnet atau
membuka web-browser hanya untuk mengecek berapa likers status facebook kita,
apa saja komentar di instagram, berapa love di path, berapa subsriber youtube.
Telepon pintar yang sekarang sudah merata ke seluruh kelas sosial membuat semua
orang, siapapun, dimanapun bisa mengaksesnya tanpa batas (kecuali terbatas
signal, kuota, dan pulsa haha.. )
Lalu apa salah kalau sekarang
penggunaan media sosial semakin ‘diinstankan’?
Bisa iya, bisa tidak. Tergantung
dari perspektif mana kita melihatnya.
Kecepatan akses internet sudah terbukti berjalan dengan baik.
Kuota internet semakin murah,
ditambah lagi fasilitas supermurah untuk para kaum urban yang sudah sangat
dimanjakan dengan jaringan 4G, bahkan katanya sampai 4,5G. Apalagi hanya
sekedar mengakses media sosial. Muraaaah pake bangeeett. Semakin banyak
provider yang ‘menggratiskan’ kuota untuk mengaksesnya. Belum lagi spot wifi
bukan lagi barang langka. Nongkrong di cafe sambil ngopi 10 ribu saja sudah bisa mendapatkan
fasilitas wifi gratis, kan?
Kita sangat diuntungkan.
Kecepatan mendapat informasi melalui internet, tak terbantahkan. Selama signal,
kuota, baterai tersedia.
Nyasar di jalan, klik Google
Maps, lancar pulang. Nggak sibuk nanya-nanya orang yang bisa jadi jutek. Kita
menjadi lebih suka bertanya pada “mesin” dengan “jempol” kita.
Bingung cari barang? Klik
beberapa vendor online shop, harga sudah banting-bantingan gak karuan, selesai.
Tapi bagaimana dengan KETEPATAN-nya?
Ini masih menjadi PR besar bagi
kita. Terutama di Indonesia. Rentetan fakta tentang sudah meratanya pengguna
telepon pintar, sudah murahnya kuota, semakin mudahnya mengakses internet,
masih belum diimbangi dengan user attitude alias sikap para penggunanya.
Tiga aspek internet yang meliputi
anonimity (user bebas memanipulasi identitas), affordability (masih terbayar
alias murah), dan accesibility (mudah terakses) seolah menjadi boomerang bagi
kita para usernya.
Tidak heran ketika ujaran
kebencian sudah seperti sampah di sungai-sungai ibu kota. Mana sampah mana air,
tercampur baur tak terkendali. Tidak heran bertaburan komentar pedas tak
berperasaan di berbagai postingan media sosial. Karena si komentator bisa lari
kapan saja, tidak head-to-head, tidak face-to-face.
Mendadak semua orang berani
memuat tanda seru. Padahal jika diajak adu argumen di dunia nyata, bertatap
muka, bisa jadi jangankan berkomentar, menatap pun tak berani. Ini media
sosial. Ini karena kita memiliki ruang untuk menjadi siapapun, semua mudah
dimanipulasi. Dan ini tidak sehat!
Para remaja terjebak dalam zona
menantang ketika berproses mencari jati diri. Saat ini, tantangan dunia maya
menjadi satu hal yang sulit ditaklukan.
Definisi cantik menjadi merata,
putih mulus. Di dunia nyata harus didapat dengan perawatan kecantikan, biayanya
tidak murah, waktu yang dibutuhkan tidak sebentar. Akhirnya banyak yang setia
menggunakan aplikasi editor foto yang bisa membuat impian cantiknya terwujudnya
hanya dalam hitungan menit.
Foto – cekrek – edit – post!
Banyak yang menyukai fotonya, banyak yang memuji, “cantiknyaaa”.
Terus
berulang, karena ternyata satu klik di tombol “like” dan tulisan di kolom
“komentar” memiliki candu yang luar biasa.
Masih untung kalau hanya berhenti
di situ saja. Banyak yang obsesinya berlanjut di dunia nyata, tak suka wajahnya
yang sawo matang, menghalalkan cara untuk mewujudkan “self-image” seperti yang
sudah terwujud duluan di dunia virtual. Ah, tidak jarang kan demi perawatan
kecantikan dan gaya fashion mahal, para remaja putri rela menjadi bla bla
bla - in a negative ways ? (tau dong maksud saya. too rude to be
written over here)
Ini realitanya. Sudahlah kita abaikan para generasi emak-emak bapak-bapak yang shock dengan mamang pesbuk, sampe tak terkendali posting pose-pose yang kekanak-kanakan, selfie in every moment, tanpa filter segala diupload, karena para oknum emak bapak ini sudah asik dengan candu media sosial, hingga lupa usia, abai terhadap integritas.
Yang harus kita pikirkan sekarang
apa? Mereka generasi yang masih ranum, berkembang, dan tumpuan negeri.
give your help! |
Eh, serius amat sih. Ya iya lah
serius.
Kebayang nggak kalau akan semakin
banyak remaja tumbuh tanpa sadar candu ini, lupa membangun jati diri, terus
menerus mendambakan kehidupan seindah yang diposting orang lain, tumbuh semakin
ahli dalam berkomentar bukan malah
bertindak membangun masa depan, atau lebih bahaya mereka tumbuh menjadi
generasi ‘halu’ yang tidak lagi bisa membedakan kehidupan nyata dan kehidupan
virtual.
Shock ketika menghadapi tantangan dari manusia yang dia temui, karena
sudah terbiasa mengekspresikan segala perasaan dan pemikirannya melalui jari
jemarinya saja.
Mereka menjadi sangat rentan
stres ketika listrik mati, kehabisan batre, dan sesederhana harus bertanya
ketika nyasar di jalan, karena sudah terbiasa berkomunikasi dengan mesin. Mesin
yang prinsipnya kaku dan absolut. Sementara manusia sudah fitrahnya terlahir
sebagai makhlus sosial, harus mampu adaptif terhadap perbedaan, dinamika,
fleksibilitas sosial, dan segala faktor yang “tidak pasti”.
jadilah SOLUSI! |
Mereka butuh kita yang [katanya] sudah dewasa. Berhentilah terlalu mudah men-share konten-konten yang belum terbukti kebenarannya di media sosial. Mulai dari jari jemari kita; seimbangkan konten dunia virtual dengan posting hal-hal bermanfaat saja; siapapun adalah public-figure di media sosial, sadarilah banyak yang melihat, menonton, bahkan meniru.
Betul bahwa akun media sosial
apapun yang kita buat bebas untuk kita apakan, tapi bukankah panggilan nurani
untuk peduli pada para pengguna lainnya pun sangat wajib untuk dikedepankan? Bisa
jadi para pengguna lain itu adalah anak-anak di bawah umur, remaja yang sedang
terjebak dalam kebingungan, juga orang-orang yang sedang butuh penguatan
positif.
Yuk! Kita tidak akan berbicara UU
ITE atau solusi dalam konteks treatmen psikologis. Kejauhan. Kelamaan.
Mulai
dari kita sendiri, jempol kita sendiri, jari jemari kita dulu.
Saya pikir bukan hanya saya yang
jengah dengan para user yang seolah sulit untuk mudah menyerah pada artikel
hoax hanya dengan sekali baca, panik kalau harus menunggu dan berpikir sejenak
sebelum menggerakkan jari-jemarinya ketika membuat atau merespon sebuah
postingan.
Mari peduli.
Kalau bukan mulai
dari diri sendiri, mulai dari mana lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar