: Rizki Erdiantoro.
Mungkin aku termasuk perempuan yang hanya pandai
menceritakan kepedihan. Sastra begitu mudah kusenandungkan kala duka, patah,
sendu, pun merana. Tapi tetiba aku lupa diksi dan intonasi, kala jiwa diliputi sukacita bahagia. Menulis
ini pun aku memaksa. Rasanya tak adil saja jika ku menyerah untuk tak
menuliskan indahnya rasa terhadapmu: lelakiku.
Aku tak pernah menyangka, kalau rasa sesakral
ini bisa kuletakkan di genggamanmu. Aku tak merasa mabuk, aku tak tenggelam.
Rasa yang kuduga lebih dari sekedar ‘cinta’ ini membuatku suka dan pandai
berenang, bukan tenggelam lalu hilang kesadaran. Senyumanku sederhana, aku tak
begitu tergila-gila. Meski sederhana, aku tersenyum setiap hari: bahagia.
Sebelumnya aku menemui banyak laki-laki, tapi
yang kupanggil lelaki itu hanya kamu. Lelaki bagiku itu satu, tak ada setara
apalagi setala. Kau satu yang kucintai sebagai lelakiku. Bukan berarti mereka
tak baik hinggaku begitu meninggikan derajatmu, tapi karena kau memang yang
terbaik. Beberapa memang lebih tampan dan perlente, tapi kau adalah yang paling
berharga.
Kala ku mematut diri di cermin yang tak terlalu
besar – tapi cukup untuk memantulkan seluruh wajah hingga tiga perempat tubuhku,
ternyata aku tak terlalu cantik, dan ajaibnya kau pun tak terlalu memujaku
karena ku cantik. Entah sudah berapa kali kau sebut aku perempuan berparas
biasa saja, tapi aku tak merasa tercela. Aku bahagia. Rasa bahagia kala tak
dipuja atas kecantikan bukan karena logikaku tak bernyawa, tetapi karena aku
menangkap isyarat bahwa kau bukan pendusta. Aku memang berparas biasa.
Ini perjalanan kita yang kedua. Sebelumnya, kita
gagal. Dunia perlu tahu, kegagalan yang kita alami kala itu bukan karena ada
yang tak setia atau mendua. Tapi memang kita belum bisa menemukan elegi yang
sama: aku seperti orang tua dan kau sangat anak muda. Kita sama-sama masih
mencari sesuatu yang orang bilang jati diri remaja. Sekarang aku adalah aku,
kamu juga adalah kamu. Kita tetap berbeda, tapi kita berada di nada dasar dan
melodi yang sama: kita sudah dewasa.
Lelakiku, ingin sekali kuhadiahkan cermin yang
tak hanya mampu pantulkan paras dan ragamu. Aku ingin menghadiahkan cermin
ajaib yang mampu menggambarkan rasaku padamu: rasa bersiluet sempurna.
Katamu, aku perempuan penggombal. Ya itulah aku.
Kadang aku berpikir aku terlahir untuk itu. Pasti kau tersenyum, senyummu tetap
yang termanis dan ini bukan gombal. Senyummu memang yang paling kusuka, ingin
selalu kujaga, dan kuimpikan. Dengan segala pengakuanku atas keahlianku
menggombal, percayalah bahwa aku setia terhadapmu. Tidak ada sangat atau pun
kurang di depannya, aku hanya setia terhadapmu.
Aku memujamu bukan karena kau bermahkota atau
bertongkat sihir ajaib. Aku tak bisa menghindar untuk melakukannya karena kau
tak pernah sertakan arogansimu kala kau memapah, kau genggam tanganku seadanya,
dan keberanianmu berikrar bahwa hanya aku ratu di hatimu, kalbumu.
Kau memperlakukan hatiku selayaknya kaca yang
rapuh, kau begitu apik menjaganya. Ah, kau benar-benar membuatku terpesona.
Lelakiku, lihatlah, tulisan ini sama sekali aku
tak suka. Ia sama sekali tak sanggup mengungkap betapa bahagianya aku memiliki
dan dimilikimu. Tapi percayalah, aku tetap pujangga. Meski hanya pujangga yang
tak lagi mampu memilih kata puitis untuk mengungkapkan cinta padamu. Mungkin
karena ada bahasa lain yang belum bisa aku bahasakan dengan tulisan: cintaku
untukmu.
Lelakiku, biarlah aku berlayar di samudra rindu dan citamu. Bukan untuk pulang atau tenggelam. Aku ingin tinggal, menikmati apapun di samudera itu: kehidupanmu.
Lelakiku, aku telah miliki langit dan pelangiku
sendiri. Biarlah aku memadukannya dengan langit dan pelangimu. Aku berjanji,
pelangiku hanya akan melebur di langitmu, memperindah pelangimu. Aku dan kamu
akan menatap langit dengan pelangi dan biru yang lebih purnama.
Lelakiku, aku tidak terlalu lemah dan mudah
patah. Tapi aku pun tak begitu kuat apalagi perkasa. Percayalah, aku denganmu
adalah sempurna. Dengan kesungguhan doa, semoga kau pun memiliki
rasa yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar