Senin, 10 Februari 2014

Menikah dan Pernikahan

Pernikahan. Sebuah kata yang sangat tidak asing di masyarakat kita. Tak perlulah rasanya kita membahas definisi pernikahan menurut KBBI, UU Pernikahan, atau landasar teoritik lainnya, karena yang ingin aku bahas adalah tentang sebuah persepsi pribadi. Persepsi yang bisa juga kusebut sebuah refleksi pengantin baru, hehe...

**

Di tulisanku beberapa hari lalu aku menuliskan campur aduknya perasaan setelah berstatus sebagai istri. Mungkin tulisan yang judulnya "to be a good wife" itu serada aneh, ya memang begitulah adanya.. :))
Pernikahan yang hari ini berusia satu bulan lima hari menggiringku pada sebuah perenungan tentang pernikahan. dan betapa ingin aku berbagi. jeng jeng jeng jeeeeng... semoga ada sedikit manfaat di tulisan ini. yuk cekidot!

**

#0 Awalnya aku takut menikah....

Ya, sebelumnya aku termasuk perempuan yang begitu takut menikah karena fenomena perceraian. Perceraian orang tua dan beberapa saudara-saudaraku memberikan gambaran kelam tentang pernikahan. Diperkuat lagi dengan banyak kasus perceraian yang dipublikasikan di tv-tv nasional kita.
'Ketika pacaran seolah takkan pernah putus, ketika menikah mengapa sebegitu mudah memutuskan bercerai?' kurang lebih itu pertanyaan yang seringkali muncul. Di infotainment banyak artis yang mengungkap statement cliche, semisal: "kami sudah tidak ada kecocokan lagi"; "terdapat perbedaan prinsip" dan bla bla bla. ungkapan-ungkapan pembenaran. 

Ketakutan inilah  yang mendorongku untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang pernikahan. jujur saja, aku tertarik dengan tema 'pernikahan' sejak usia 21 tahun. referensi agama, psikologi pernikahan, referensi sosial, dan banyak lagi campur aduk di otakku, ada yang melemahkan juga menguatkan ketakutan yang kurasakan. dulu aku sering sok tahu menganalisis bahwa penyebab perceraian itu bisa jadi gara-gara: laki-laki dan wanita memang kurang mampu menampilkan diri yang apa adanya, jadi pas nikah ya shock satu sama lain, menolak untuk mengerti, apalagi menerima. Selain itu bisa juga gara-gara perjodohan, atau mungkin gara-gara ada cinta pelarian di salah satu pihak, dan banyak analisis lain yang kebanyakan ‘ngawur’ hehe.. maklum modal sok tahu thok.

Tapi ada satu hal yang menjadi sebuah keyakinan, setidaknya sampai aku memutuskan untuk berani menikah. Satu hal itu adalah kegagalan rumah tangga akan terjadi ketika tidak ada pemimpin yang baik. Aku sudah memandang pernikahan bak sebuah organisasi yang akan kacau ketika pimpinannya tidak tahu arah, tidak mengerti SOP berorganisasi, mudah goyah, mudah patah. Lebih parah lagi ketika pemimpin dihadapkan pada anggota yang jauh lebih kuat. Ya, mungkin itu analisis yang paling aku anggap benar. Keyakinan ini yang akhirnya mempengaruhi caraku mencari pasangan hidup.
#1 Pasangan Hidup
Pasangan hidup, seringkali disebut istri dan suami. Ini adalah point pertama yang super duper penting dalam sebuah pernikahan. Dalam Islam, mempelai pria & wanita juga diposisikan sebagai rukun nikah, atau sesuatu yang membatalkan pernikahan kalau tidak dipenuhi. Ya iyalaaah.. kalo nggk ada salah satu ya gimana ceritanye? *LOL*
Ada beberapa kriteria yang aku tetapkan. Bukan dalam rangka ‘sok-pilih-pilih’. Aku hanya melakukan tindakan preventif alias pencegahan terhadap potensi kekisruhan rumah tangga. Kriterianya: laki-laki normal, berjiwa kepemimpinan, bertanggung jawab, dan tidak merokok. Nggk aneh-aneh kan? Ya, selebihnya kalo boleh aku ingin laki-laki yang humoris, ngobrolnya nyambung, ganteng juga gak apa-apa. Masalah kaya miskin aku bukan tipe yang tergiur dengan itu, karena dolar bisa kita cari bareng-bareng setelah nikah. Percaya atau nggk, kriteria ini sudah aku tetapkan sedari SMA kelas 2, long long time ago bukan?!
Kriteria ini yang secara tidak sadar mengarahkan sikapku pada setiap laki-laki yang ‘mendekati’. Alhamdulillah, sepanjang sejarah aku tidak pernah punya pacar yang merokok, meskipun sebagian besar mantanku yang yaaa berjiwa keanggotaan bukaan kepemimpinan, haha.. #jokes!
Pencarian panjang akhirnya dijawab Allah dengan pertemuan jodoh dengan teman baikku. I married my best friend, gitulah kira-kira. Segala puji bagi Allah, yang memberiku pasangan hidup yang lebih dari ekspektasiku. Suamiku memenuhi kriteria yang aku tetapkan: laki-laki normal, berjiwa kepemimpinan, bertanggung jawab, dan tidak merokok. Plus bonusnya banyaaaaaak.. 
Kenapa harus ada kriteria? Jelas harus! Karena pasangan hidup adalah partner kita melewati apapun yang terjadi dalam hidup kita, seumur hidup! Bukan seminggu, sebulan, setahun, atau sewindu thok. Seumur hidup! 
we are married for life.

#2 Niat – fix ur will!
Niat menikah akan melemahkan atau menguatkan pernikahan itu sendiri. Kalau niat menikah untuk memenuhi tuntutan sosial, maka pernikahan akan dipelihara selama sosial menuntut begitu. Hambar mungkin rasanya. Ketika niat menikah gara-gara takut kehilangan pacar yang cantik/gantengnya minta ampun, maka pernikahan akan menjadi sebuah keposesifan belaka. Ketika niat menikah adalah karena terlanjur tua, maka penghargaan terhadap pernikahan itu pun menjadi sangat sepele. Dan niat-niat lain.

Banyak pasangan yang menikah dengan niat membangun romantisme tiada berujung. Kalau sudah menikah kan enak, mesra-mesraan jadi halal, manggil umi-abi, suap-suapan, sun tangan pas suami kerja, dan adegan-adegan manis lainnya. Setelah menikah, ternyata tidak semua adegan semanis itu bukan? Jawabanku: iya. Ketika niat kita tidak tepat, maka hanya akan ada frustrasi ketika harus menjalani adegan-adegan pernikahan yang di luar ekspektasi. Muncullah pertanyaan-pertanyaan semisal: kok dia beda ya? Kok suamiku nggk romantis ya? Eh kok dia nggk nyuapin aku lagi sih? Ooooh come on, it’s reality. Banyak agenda penting lainnya dalam pernikahan ini guys.

Bukan sentimentil apalagi dilarang membayangkan yang indah-indah tentang pernikahan. Yang ingin aku bagi disini adalah kesadaran akan kompleksitas kehidupan pernikahan. Banyak yang akhirnya lemah karena hanya terfokus pada indah-indahnya. Shock ketika suami gajinya minus, menyesal ketika ternyata suaminya tidak seromantis yang diharapkan.

Pernikahan itu indah. Indah bukan kepalang. Aku pun merasakannya. Banyak yang bilang, menikahlah biar banyak rejeki. Itu jelas haditsnya. Ada lagi yang bilang, menikah itu menyatukan dua sumber rejeki lho. Nambah keluarga. Nambah yang merhatiin. Setuju!

Tapi satu hal yang jarang disebut-sebut, ketika menikah kita pun akan menghadapi pertambahan masalah. Yang asalnya kita bisa fokus ke masalah kita saja, setelah menikah masalah hidup pun jadi double lho. Tanggung jawab jadi double pula. Nah, jangan jadi takut gitu donk. Ini aku ungkapkan bukan buat nakut-nakutin nikah. Kerangka berpikir yang realistis sudah harus dikedepankan. Niat yang kurang tangguh, akan melahirkan pasangan-pasangan lemah kala menghadapi realita ini. So, niatkan bahwa menikah itu adalah proses belajar yang panjang untuk meningkatkan kualitas diri. Menikah adalah romantisme yang juga dibalut oleh keunikan masalahnya tersendiri. Jadi, harus kuat dulu niatnya ya....
Dan bagi muslim niat terbaik menikah adalah ibadah. Apapun yang dihadapi jadi bernilai ibadah. Enaknya jadi ibadah, nggk enaknya juga jalan ibadah. Semoga kita benar-benar memasuki pernikahan dengan niat terbaik ini ya guys, amiin.

#3 Kampanye Menikah Muda!
Ini refleksi terakhir di tulisan kali ini. Asli guys, sangat direkomendasikan menikah muda. Aku nggk akan terlalu membahas bahaya pacaran, de el el. Kalian juga udah pada ahli tentang ini.
Terlepas dari itu, alasan kenapa harus menikah muda adalah biar kita bisa cepat memulai. Lebih cepat dimulai berumah tangga, lebih cepat pula kita belajar. Lebih cepat belajar, lebih cepat juga berhasilnya toh?
Kalimat di atas memang sangat kampanye, hehe..

Tapi let me explain about the reason.
Usiaku cenderung tidak muda lagi saat memutuskan menikah. Beberapa bulan lagi menginjak 26 tahun. Ya udah well-done untuk menikah lah ya... (kyak steak aja, pake well done segala, haha..) Dari aspek kepribadian, aku sudah cukup ‘terbentuk’. Aku sudah menjadi seseorang yang menentukan arah, berprinsip, berpandangan kokoh terhadap berbagai hal, dan hal-hal lain yang sudah “terbentuk”. Jadi ibarat adonan kue, seusiaku ini sudah jadi kue yang bentuknya jelas (misal: bulet, persegi, oval). Berbeda dengan usia yang 20 tahun misalnya, kecenderungannya masih fleksibel dan mudah untuk diarahkan.

Nah, udah tahu belum arahnya kemana? Hehe..

Kalau dalam pernikahan, laki-laki dan perempuannya itu sudah ‘terbentuk’ dua-duanya. Posisinya laki-laki harus menjadi sosok yang memimpin. Namun bagaimana kalau si istri sudah ‘terbentuk’ sebagai sosok yang tidak suka dipimpin? Ini yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Perempuan menjadi sama dominannya dengan laki-laki dalam rumah tangga, tidak jarang bahkan lebih dominan dari suaminya. Banyak istri yang dengan mudah menyatakan “saya biasa begini” atau “saya bisa melakukan semuanya sendiri”  dan lainnya. Semoga kita diselamatkan dari kaum perempuan yang ‘terbentuk’ seperti itu. Amiin.
Meskipun tidak jarang, semakin matang, perempuan tumbuh menjadi makhluk yang paling bijaksana. Sekali lagi, ini adalah analisis subjektifku dalam rangka pencegahan saja. Karena aku juga termasuk orang yang sepakat, bahwa kadang usia hanyalah masalah angka. Kedewasaan dan pemaknaan hidup seringkali tidak berkorelasi positif dengan angka usia.
Tapi, yaa kalau memang sudah siap, kenapa ditunda?
Aku pun menyesal mengapa tidak dari dulu menyatakan siap. Karena learning by doing selalu lebih menyenangkan dan lebih bermakna dibanding learning by reading or listening only.


***
Semoga bermanfaat. Maaf kalau banyak yang ngaco. Maklum masih penganten baru, hihihi... 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar