Kamis, 09 Februari 2017

Jembatan Empati : berdamai dengan 'kenyinyiran'

Semenjak memutuskan pindah ke Pulau Jawa, which is tempat asal kami, seringkali ada pertanyaan dan tanggapan yang sebetulnya bernada (sorry to say) “sok tahu” . Hmfh..... zzzzzzz

Lalu kami berusaha membangun dan menapaki jembatan empati untuk mereka-mereka yang sok tahu tersebut, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kesejahteraan batin kami, hahay!


Ngomongin apaan sih? Ngomongin ini lho:

Tujuh Januari kami – saya dan suami, resmi pindah dari Riau ke Pulau Jawa lagi. We stay for a while di Malang, Jawa Timur. Untuk kami, kepindahan ini bukan hal yang terjadi begitu saja, bukan sesuatu yang harus dipertanyakan, apalagi jadi perdebatan, yaellah, pindah doank. 
Tapi..... ternyata respon orang mah beda-beda.

Yes, we quit that zone to move-  not to escaping life :) 

Respon terhadap adegan pindah yang menurut saya agak di luar dugaan. 
Well, sengaja saya dokumentasikan lewat tulisan di blog ini, as my personal journal. Mungkin suatu saat saya perlu flashback, atau mungkin ada orang lain yang juga ada di situasi yang sama. 
Niatnya, reinforce myself then share to others in a positive ways.
Tanggapan lucu yang serada mengusik, diantaranya:
  • Apalagi sih yang dicari? Kerjaan udah enak, karir udah sama-sama enak, malah resign. Orang lain malah susah cari kerjaan lho
  •  Ada masalah apa kok resign Pak Kepsek? Padahal istrinya udah enak dapet kampus yang dekat untuk ngajar.
  • Wah sayang ya padahal udah mapan disini, malah pindah.  
  •  Dan sejenisnya semacamnya macam macam.

Dan ketika kami pindah untuk take a breath in the moment, memenuhi hak jiwa untuk bertualang (baca: piknik-piknik alay haha), upload foto di berbagai tempat, upload by a positive caption, tanggapannya lebih aneh lagi, kebanyakan bilang: “jalan-jalan terus pak/bu”, atau  ada yang sampe berani sounding tentang uang pesangon. Pengen banget dengan gaya #agnezmo squarelling like.....
WHAAATTT???!!!
How could you be that rude, meeeeen...!!
You dont even know our plan. you dont even know us personally.
you just focusing on the picture without read the caption,
and you just care to your mind, not on what we do at all. Sigh!
Seingat saya, kami gak pernah sefulgar itu ngurusin hidup orang-orang di sekitar kami. Kecuali ya orangnya minta diurusin, hehe... Kami cukup menyimpan berbagai pandangan tentang apapun hanya untuk kami, gak pernah niat nyenggol-nyenggol hidup orang, kecuali kalo disenggol orang ya maaff kepaksa nyenggol balik, sedikit, hehe...
Saya yang piknik, kok bapak/ibu/mas/mbak yang mumet mikirin duit?
Saya yang jalan-jalan, kok bapak/ibu/mas/mbak yang capek?

Tapiiiii.....

Proses yang berlalu kurang lebih sebulan ini mengajari saya tentang Jembatan Empati yang saya jadikan headline tulisan ini.

Ooooooohh Ternyataaa..... 
"Oh, ternyata ada lho ya orang yang doyan banget ngurusin hidup orang lain. Yang tiba-tiba seolah peduli, padahal cuman kepo."
"Oh, ternyata bentuk-bentuk iri, dengki, di zaman sekarang itu beragam ya. Termasuk dengan cara ekstrem menilai baik-buruk, pantas-tidak pantas tentang keputusan orang lain yang ada hubungan kekerabatan pun nggak alias cuman kenal."
"Oh, ternyata hidup mereka itu sebegitu membosankan ya sampai apa-apa dinilai dengan uang."
"Oh, ternyata kebanyakan orang menyetarakan kebahagiaan dengan jabatan, besaran gaji, status pekerjaan, dan uang uang uang ya."
"Oh, ternyata selain berbeda mereka pun memaksakan nilai-nilai hidup yang sama ke orang lain ya."

Dan saya memilih untuk tidak memaksakan nilai-nilai hidup saya kepada siapapun. Lalu apakah semudah itu? mengingat saya disenggol duluan, hehe...

Jawabannya Tidak! Saya harus membangun jembatan empati yang begitu panjang. Menapaki selangkah demi selangkah perbedaan cara pandang. Diskusi sama suami. Terus berusaha maju untuk berempati pada mereka yang #kurangpiknik #eh #maap #nooffense

Because to be mature is not that easy

Sampai akhirnya tulisan ini diterbitkan di blog pribadi saya. Kami akhirnya semakin maju menapaki jembatan ini untuk berempati pada cara pandang yang jauuuuuh berbeda dengan kami.

Saya memang meninggalkan kemapanan (versi kalian), ninggalin mobil, status, gaji yang lumayan, tunjangan kesehatan yang almost unlimited, potensi bonus tahunan yang lumayan, dan bla bla bla yang ada di pikiran kalian. 

Alasannya? 

Bukan gak suka hidup mapan seperti itu, apalagi cuman buat cari gara-gara, tapi karena kami punya versi kemapanan sendiri. Which is not only about MONEY !
Sorry, my life has no price-tag!
Terima kasih banyak pada kalian semua yang merasa pernah memberikan reaksi-reaksi tak terduga, memberikan perhatian luar biasa, karena itu semua kami jadi lebih banyak belajar.

Kita sama-sama manusia, kita sama-sama hidup, tapi bagaimana kita menjalani kehidupan biarlah itu jadi hak prerogatif masing-masing. Berhentilah jadi manusia yang hobi mengusik apalagi memutuskan mana yang baik-buruk untuk orang lain, karena pada hakikatnya yang kita tahu tentang orang lain sungguh-sangat-sedikit.  Kenal diri sendiri aja belum tentu, kan?

Yuk, bangun jembatan empati, tapaki, nikmati, pelajari, sampai akhirnya mampu mengerti.

i wont give up on my own life. Wish "you" all do the same
Kita saling mendoakan kebaikan satu sama lain daripada nyinyir hehe...

Salam empati, gaeeeesss :*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar