Sabtu, 25 Februari 2017

Sabtu Bersama Bapak

Selamat hari Sabtu, dengan atau tanpa bapak di samping kita.
foto diunduh dari media.viva.co.id
Sudah sejak dua bulan lalu pengen nulis personal-journal tentang film Sabtu Bersama Bapak. 
Film ini sudah lama release di bioskop (bioskop kesayangan anda). Tapi waktu film ini tayang di bioskop, saya masih stay di tempat tinggal yang perlu waktu kurang lebih empat jam menuju bioskop dan itupun hanya bisa pergi di hari libur atau weekend. (intinya sih belom maksain nonton karena gak terlalu "pengen" nonton)


Sebenernya ini bukan review film ya. Seperti yang saya sebut di awal, ini lebih ke tulisan tentang pengalaman saya pribadi tentang film ini. Dan sebenernya lagi, Sabtu Bersama Bapak ini  release pertama dalam bentuk buku yang ditulis oleh Adhitya Mulya. Sayangnya saya belum baca, gak ada alasan apa-apa. emang belum aja. but it's on my list. 

**
Saya akhirnya ditakdirkan Allah untuk klik judul film ini di layar monitor pesawat Garu*a ketika menempuh perjalanan Pekanbaru-Jakarta. Ya, saya sebut itu takdir, kehendak Allah. Karena saya termasuk yang meyakini kalau gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Selalu ada "alasan" di balik segala peristiwa #tsaah!

Awalnya saya yang sok tahu ini mikir kalau film ini bakal seperti drama kebanyakan. Ya gitu gitu aja, flat, sedih, dan sudahlah. Dasarnya saya sok tahu aja hehe... Akhirnya saya terbawa ke dalam arus perenungan yang cukup dalam, dihujani masa lalu dengan derasnya, mendadak mengasihani diri sendiri, merasa bangga dengan apa yang sudah saya lewati, dan merasa kalau saya tidak sendirian. 

In my opinion, film Sabtu Bersama Bapak adalah film yang menyembuhkan, memperkaya batin anak-anak yang mungkin tumbuh tanpa figur ayah, dan seolah mendampingi anak-anak yang tersesat dalam pencarian "diri".

Untuk pertamakalinya, saya nangis di pesawat cuman gara-gara nonton film. Beberapa pramugari yang lewat terlihat "bingung" dan mungkin ada yang menduga saya sama suami lagi berantem hahaha...

suami pun gak kalah bingung, 'lha istri gw kenapa ini, bisa bisa dia dituduh KDRT di pesawat,' hehe..

Saya nya juga bingung kenapa. Kok bisa sampe nangis? Padahal kan kalo di pesawat mana bisa kondusif nonton. pasti kepotong-potong sama pengumuman co-pilot tentang ketinggian lah, cuaca lah, turbulence lah, de el el. But it's really happened.

Mungkin karena  i feel the story. i was feeling lost. and i see the real "me" on the movie. Bener-bener undescribe feeling (dan tonton deh. mungkin kamu bakal paham apa yang aku maksud hehehe..)

postingan yang agak absurd ya. tapi dibalik keabsurd-annya. i wanna thank you, penulis juga the producer of Sabtu Bersama Bapak. Indonesia perlu banyak film yang membangun kekuatan jiwa. Ini mungkin serada lebay ya, tapi sayang sekali harus kita akui ini benar. 

Film ini menggambarkan banyak sekali yang harus kita perankan dalam hidup, dan semua peran itu membutuhkan totalitas. Menjadi ayah dengan menjadi bapak-bapak itu beda. Menjadi ibu dengan menjadi ibu-ibu itu tidak sama. Menjadi anak yang kuat dalam kenyamanan itu tidak mudah, menjadi tidak rapuh dalam penderitaan pun sulit. Dan sangat tertampar dengan salah satu ungkapan 'Ayah' dalam film ini, kurang lebih yang saya maknai sih begini: jangan pernah meminta orang lain untuk melengkapi kita. Satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk tumbuh lebih baik, lebih lengkap, ya diri kita sendiri.

Banyak orang (termasuk saya) yang seringkali menuntut orang lain untuk menjadi "seseorang" yang melengkapi kita, dan kita merasa bangga dengan keterbatasan yang sebenarnya masih bisa diperbaiki. Ketidaksempurnaan itu fitrah manusia, tapi manusia juga diberi fitrah untuk mampu memperbaiki diri, menyembuhkan diri sendiri. 

Kamu yang sudah nonton, punya pengalaman apa sama film ini? 
Yang belum nonton, nonton gih, siapa tahu kamu butuh 'ayah' juga :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar