Rabu, 08 Februari 2017

Kembalilah, Alea.

Panggil aku Alea.
Aku yang sempat kehilangan: diriku sendiri.

**

Pada akhirnya aku  harus menata diri kembali, memperbaiki yang belum baik, dan menghapus segala ketidakbaikan yang kadung melekat. Pelan-pelan, tapi harus terus kulakukan. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri yang terlalu lama lupa diri.

Pernah, dalam waktu yang entah berapa lama aku menganggap bahwa aku dibenci. Aku diperlakukan berbeda. Tapi nyatanya, aku yang telah lama membenci, menempatkan kebaikan-kebaikan tidak pada tempatnya, menciptakan kelam sendirian. Aku yang ternyata terlalu sibuk menempatkan diri sebagai korban dan orang lain sebagai penyiksa.

Juga, aku pernah terlalu dalam mencintai. Menempatkan diriku sebagai satu-satunya yang pantas untuk diberikan tahta cinta olehnya, tapi aku tak mengakuinya dengan tulus. Nyatanya bukan cinta yang aku miliki, hanya sebuah rasa ingin memiliki tanpa kendali. Bahkan aku membawanya terlalu jauh ke alam bawah sadarku. Membuatku tak lagi mampu bedakan, mana nyata mana ilusi.

Hampir selalu aku merasa terbang di atas angin, menyembunyikan sayap-sayap patah. Menjauh dari bumi agar tak dikenali segala bekas luka yang aku pikir merusak rupa dan pesona. Nyatanya angin tak hanya membuatku terbang, tapi lupa asalku dari mana. Aku menjadikannya lebih kencang, tapi menyalahkannya di saat yang sama. Ah, lagi-lagi tentangku yang lupa diri, bukan?

Aku sering menyakiti. Menyia-nyiakan mereka yang penuh harap bahagiakanku. Memberikan genggam demi genggam kasih sayang. Aku berpaling, aku menolak, aku menginginkan yang lebih. Padahal bagi mereka, tak pernah mudah melakukannya. Aku berpaling, aku meminta lebih. Aku melakukan pembenaran atas segala luka-luka masa lalu yang sebetulnya sudah sembuh. Mengapa aku pandai sekali memelihara pilu? Dan menyeret orang lain yang tak tahu apa-apa untuk turut menanggungnya?

Cermin saja seolah tak pernah berkata jujur mengungkap rupaku. Pantulannya telah aku manipulasi dengan egoku. Sehingga hanya aku yang benar, pandanganku yang nyata, tatapanku saja yang layak dipedulikan.  Aku yang kian lupa diri.

Hei, jiwa yang tak lagi membiarkan dirinya rapuh. Waktumu tidak banyak. Berjalanlah perlahan. Tak usah terburu-buru. Bukankah kau miliki impian yang sangat besar. Impian yang banyak. Bagaimana bisa kau mewujudkannya tanpa kesabaran dan kesadaran?

Hei, jiwa yang tak lagi membiarkan dirinya menangis sendirian. Ingatlah mereka yang tak pernah pergi meninggalkan. Mereka membiarkan berjalan sendirian, bukan meninggalkan. Mereka tetap di sana, di ujung jalan, menanti kau bersorak saat berada di puncak mimpimu. Bagaimana mungkin kau menyia-nyiakan tatapan tulus penuh harap itu?

Hei, jiwa yang kerap kali tertunduk tak berdaya. Lihatlah langit sesekali, Indah bukan? 

Ia indah karena keluasannya. Lapangkanlah hatimu, genggam terus awan-awan kebaikan. 
Bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk membuatmu mencintai dirimu sendiri lebih dari siapapun?

Kembalilah, pada dirimu yang mencintai dan kau cintai.
Cintailah setiap langkah perjalanan,
Tuhan tak sedikitpun lengah memberimu pelukan kekuatan dan kemudahan. 

sebuah sajak yuli nurmalasari
www.jurnal-uly.com
                                                                                                                                  IG @uly_uli 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar