Panggil aku Alea.
Aku yang sempat kehilangan: diriku sendiri.
Pada akhirnya aku harus menata diri kembali, memperbaiki yang belum baik, dan menghapus segala ketidakbaikan yang kadung melekat. Pelan-pelan, tapi harus terus kulakukan. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri yang terlalu lama lupa diri.
Aku yang sempat kehilangan: diriku sendiri.
**
Pada akhirnya aku harus menata diri kembali, memperbaiki yang belum baik, dan menghapus segala ketidakbaikan yang kadung melekat. Pelan-pelan, tapi harus terus kulakukan. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri yang terlalu lama lupa diri.
Pernah, dalam waktu yang entah
berapa lama aku menganggap bahwa aku dibenci. Aku diperlakukan berbeda. Tapi
nyatanya, aku yang telah lama membenci, menempatkan kebaikan-kebaikan tidak
pada tempatnya, menciptakan kelam sendirian. Aku yang ternyata terlalu sibuk
menempatkan diri sebagai korban dan orang lain sebagai penyiksa.
Juga, aku pernah terlalu dalam
mencintai. Menempatkan diriku sebagai satu-satunya yang pantas untuk diberikan
tahta cinta olehnya, tapi aku tak mengakuinya dengan tulus. Nyatanya bukan cinta
yang aku miliki, hanya sebuah rasa ingin memiliki tanpa kendali. Bahkan aku
membawanya terlalu jauh ke alam bawah sadarku. Membuatku tak lagi mampu
bedakan, mana nyata mana ilusi.
Hampir selalu aku merasa terbang
di atas angin, menyembunyikan sayap-sayap patah. Menjauh dari bumi agar tak
dikenali segala bekas luka yang aku pikir merusak rupa dan pesona. Nyatanya
angin tak hanya membuatku terbang, tapi lupa asalku dari mana. Aku
menjadikannya lebih kencang, tapi menyalahkannya di saat yang sama. Ah, lagi-lagi
tentangku yang lupa diri, bukan?
Aku sering menyakiti.
Menyia-nyiakan mereka yang penuh harap bahagiakanku. Memberikan genggam demi
genggam kasih sayang. Aku berpaling, aku menolak, aku menginginkan yang lebih.
Padahal bagi mereka, tak pernah mudah melakukannya. Aku berpaling, aku meminta
lebih. Aku melakukan pembenaran atas segala luka-luka masa lalu yang sebetulnya
sudah sembuh. Mengapa aku pandai sekali memelihara pilu? Dan menyeret orang
lain yang tak tahu apa-apa untuk turut menanggungnya?
Cermin saja seolah tak pernah
berkata jujur mengungkap rupaku. Pantulannya telah aku manipulasi dengan egoku.
Sehingga hanya aku yang benar, pandanganku yang nyata, tatapanku saja yang
layak dipedulikan. Aku yang kian lupa
diri.
Hei, jiwa yang tak lagi membiarkan
dirinya rapuh. Waktumu tidak banyak. Berjalanlah perlahan. Tak usah
terburu-buru. Bukankah kau miliki impian yang sangat besar. Impian yang banyak.
Bagaimana bisa kau mewujudkannya tanpa kesabaran dan kesadaran?
Hei, jiwa yang tak lagi membiarkan
dirinya menangis sendirian. Ingatlah mereka yang tak pernah pergi meninggalkan.
Mereka membiarkan berjalan sendirian, bukan meninggalkan. Mereka tetap di sana,
di ujung jalan, menanti kau bersorak saat berada di puncak mimpimu. Bagaimana
mungkin kau menyia-nyiakan tatapan tulus penuh harap itu?
Hei, jiwa yang kerap kali
tertunduk tak berdaya. Lihatlah langit sesekali, Indah bukan?
Ia indah karena keluasannya. Lapangkanlah hatimu, genggam terus awan-awan kebaikan.
Bukankah
ini sudah lebih dari cukup untuk membuatmu mencintai dirimu sendiri lebih dari
siapapun?
Kembalilah, pada dirimu yang mencintai dan kau cintai.
Cintailah setiap langkah perjalanan,
Tuhan tak sedikitpun lengah memberimu pelukan kekuatan dan kemudahan.
sebuah sajak yuli nurmalasari
www.jurnal-uly.com
IG @uly_uli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar