Sudah beberapa malam tidak bisa
tidur nyenyak. Kepala terasa lebih crowded
dari biasanya. Sayangnya ini bukan tentang pekerjaan kantor yang belum dan
mungkin tidak akan pernah ada selesainya. Ini tentang hal lain, yang lebih
rumit dan berhasil membuat jantung kembang kempis tak beraturan.
**
Entah apa yang direncanakan
langit padaku yang sudah lupa bagaimana caranya membuka hati. Sejak gagal
menjalani hubungan dengan Reno, rasanya hati ini kebal dari rasa tertarik
apalagi naksir-naksiran. Tak perlu diingatkan lagi tentang usia, aku sepenuhnya
sadar usiaku tidak muda lagi. Apalagi jika dibandingkan dengan anak kelas 2 SMP
yang sekarang aku ajar setiap hari. Pertanyaan rekan kerja, teman sebaya,
bahkan tetangga sudah tidak mempan membuatku depresi. Ya pertanyaan kapan menikah atau sekedar sudah punya calon belum.
Reno dan sebuket sakit hati yang
ia bawa tempo hari membuatku resisten dari hasrat memenuhi keinginan para
kepo-ers itu. Keinginan untuk menikah pun nyaris tenggelam bersama
bangkai-bangkai serangga yang usianya hanya 24 jam itu. Tenggelam berkali-kali,
nyaris tak bisa kembali.
**
Sudah hampir tiga tahun aku
mengadu nasib menjadi pengajar di sekolah milik salah satu perusahaan
perkebunan di Sumatera. Bukan tempat
yang popular apalagi favorit. Kalau bukan karena nominal gaji dan fasilitas
yang layak, tidak akan ada yang mau bekerja dan menghabiskan kesehariannya di
tengah kebun sawit yang luasnya berhektar-hektar. Jalan raya saja bisa ditempuh
setelah melalui perjalanan 20 menit. Jalan bukan menggunakan trotoar atau
semen, seluruh jalan di dalam perkebunan terbuat dari pasir dan batu. Untuk
yang pertamakali menempuh medan jalan pasir batu ini akan merasa seperti naik
bemo atau bajay yang sudah uzur, membuat bergetar sekujur badan, dan pegal linu
setelahnya. Tapi bagiku – dan siapapun, yang sudah terbiasa ini bukan hal istimewa
lagi.
Mimpi menyekolahkan adik dan
membantu orang tua, dan sepotong hati yang tak kembali, yang membuatku sampai
dan bertahan disini. Terbiasa membuat banyak alasan untuk tetap tertawa,
sesekali menertawakan diri sendiri.
Sudah hampir tiga tahun juga rasa
sakit itu tenggelam, selama itu juga pintu hati ini tak pernah bisa terbuka
lagi. Ya, satu nama dengan sakit hati yang dalam. Entah apa yang membuatnya
terlalu dalam.
**
Hampir setiap malam kala
pekerjaan harian sudah rampung, aku mengakses internet, sekedar untuk
mengupdate status FB– yang sebenarnya tidak terlalu penting, mengomentari
status teman, mengupload foto di instagram, dan mengintip akun-akun orang lain.
Hiburan yang kadang berujung penderitaan. Mulai dari menertawakan status-status
alay; me-like foto-foto bayi teman, pernikahan teman, dan momen yang
membahagiakan; mengutuk status rasis
yang orang-orang posting. Hampir selalu diakhiri dengan keluh kesah
terselubung, mereka udah punya bayi aja gue nya masih terdampar di tengah
kebun. Destinasi selanjutnya tidak lain tidak bukan adalah exit dari semua aplikasi – tidur – bangun – melakukan rutinitas.
Tapi malam itu berbeda. Ada pesan
pribadi di massanger FB yang membuatku cukup kaget.
“Apa kabar?”
Kalimat biasa, hanya apa kabar.
Pertanyaan lumrah yang diberikan oleh seseorang kepada orang lainnya yang sudah
lama tidak ditemui, bukan? Kaget bukan pesannya, tapi pengirimnya.
Alhamdulillah baik. Kak Rai gmn kbrnya?
Rai adalah senior di kampus dulu.
Bukan sembarang senior, dia idola. Banyak wanita yang mengaku fansnya. Aktifis
yang tidak hanya ganteng, tapi juga kharismatik. IPK yang cumlaude saat dia
lulus membuat para fansnya semakin meleleh. Aku mengenalnya hanya sekilas.
Karena aku bukan aktifis sekaliber dia. Kenal dia pun karena kami pernah satu
kelompok ketika jurusan mengirimkan delegasi untuk lomba karya tulis
ilmiah tingkat universitas. Ya, kami
menang Juara 2 waktu itu. Itu sebabnya aku punya foto bareng dia, ketika wakil
rektor menyerahkan hadiah. Foto pertama dan terakhir. Foto berjas almamater
berwajah lusuh. Bukan foto alay apalagi mesra sambil melet-melet. Foto yang
sampai sekarang aku simpan. Betul, aku salah satu fansnya, kala itu.
Pertanyaan apa kabar berlanjut
menjadi obrolan santai yang seru, setiap hari. Aku lupa sensasi iri ketika
melihat foto-foto pernikahan atau bayi teman-teman. Aku tidak lagi manyun
merengut sebelum tidur. Percakapan berlanjut melalui BBM. Bukan hanya malam
hari, pagi dan siang hari pun kami rajin mengobrol. Sekedar menanyakan sudah
makan atau belum, saling mengomentari status BBM, dan menutup malam dengan
kalimat selamat tidur. Ya, rutinitas yang lebih menyenangkan.
**
Rai tidak banyak berubah. Ia
tetap sang idola. Dia melanjutkan pendidikan sembari menjadi asisten dosen di
kampus kami dulu. Entah apa yang membuatnya mengirimkanku pesan apa kabar dan
berlanjut dengan komunikasi yang lebih intens. Dia belum punya istri, entah
tentang pacar. Enggan aku menanyakannya. Mungkin lebih tepatnya, aku belum siap
dengan jawaban terburuk semisal ‘ya, aku sudah punya pacar’. Aku melarang diri
berharap terlalu dalam pada Rai. Tapi aku pun rajin memupuk rasa ini. Sesekali
merasa ingin memperjelas kedekatan. Tapi lagi lagi takut dengan kenyataan yang
mungkin tidak akan sesuai harapan. Dan tetap aku rajin memupuk rasa. Memberikan
perhatian, menerjemahkan perhatiannya.
Sampai pada malam itu, percakapan
aneh di BBM.
Aku
sekarang rajin berdoa
Emang
dulu nggk?
Yang
sekarang doanya beda
Apaan
emang kak? #kepogila
Itu
rahasia.
Ih
nyebelin. Ngasih tau setengah-setengah.
Mending
jangan sekalian. T.T
Kakak
takut kamu semaput kalau tahu.
Hahaha..
will never lah kak. I’m ready to keep standing. :D
Belum
waktunya. Kakak ngajar dulu ya. Sampai jumpa, dek.
Yee.
Nyebelin maksimal ah.
Kalimat-kalimat Rai berhasil
membuatku GR. Aku tak bisa mengontrol
translator di otak yang menyatakan bahwa Rai menyayangiku. Padahal logikaku
jelas-jelas berteriak kalau tidak ada pernyataan selugas itu dalam kalimat Rai.
Alhasil setiap malam aku dikuasai rasa penasaran. Rasa penasaran yang
diperparah dengan Rai yang tidak menghubungiku selama tiga hari terakhir.
Selamat pagi kak.
Udah siang ni, selamat lunch kak Rai.
Itu sepotong kalimat BBM tak
berbalas. Berulang aku kirim. Di ujung kiri kalimat hanya ada huruf D
dilingkari warna biru, belum jua berubah jadi R. Ya, artinya pesan belum dibaca
oleh penerima pesan di seberang sana. Entah apa alasannya. Kalau HP nya hilang,
bukankah dia bisa mengakses internet lalu menghubungiku via FB? Tanpa sadar,
aku telah tumbuh menjadi gadis posesif. Aku kehilangan rutinitas. Produktifitas
kerja pun turut terancam. Khawatir, cemas, dan curiga bercampur satu. Semua
tentang Rai. Bisa jadi aku beri judul drama setiap malam ini dengan Rais insomnia.
Insomnia yang mendorong jari
jemari untuk stalking akun FB kak Rai. Dari FB nya aku menemukan banyak cerita
yang belum aku tahu tentang kak Rai. Ternyata ibunya meninggal beberapa bulan
lalu, adiknya kuliah di Malaysia, ia juga mengajar anak kurang mampu, dan ada
akun perempuan yang sering sekali muncul komentarnya di postingan kak Rai.
Informasi terakhir membuat rasa yang aneh, ya namanya cemburu. Eh tapi bukankah
aku dan kak Rai hanya teman, kenapa harus cemburu?
Tangan otomatis mengklik akun
perempuan itu, semakin porak poranda rasanya karena tanpa diperintah otak
menyatakan perempuan ini sangat cantik, islami, dan melihat profilnya dia
melanjutkan S2 di kampus ternama. Telak aku kalah pamor. Dan yang lebih
menyempurnakan kekacauan hati malam itu, banyak juga kutemui postingan kak Rai
di beranda wanita ini. Sound system
di otakku sibuk komat kamit : Oke fix,
aku harus mundur. Aku harus membuat batasan. Kak Rai bukan kelasku. Kak Rai tak
mungkin menyukaiku apalagi sayang. Bye maksimal Kak Rai.
Komat kamit yang useless, karena nyatanya Kak Rai memang
tidak ada kabar sudah berhari-hari, mencipta jarak lebih dulu. Membuat batasan
lebih awal.
**
Genap seminggu sejak peristiwa
stalking malam itu. Usahaku membunuh harapan dan menutup kembali pintu hati
sedikit berhasil. Hanya sedikit, nyatanya sampai hari ini masih saja berharap
ada pesan meskipun sesederhana apa kabar dari Rai.
Cinta, serumit itu kah rupamu dalam hidupku?
Harus dengan bahasa apa ku menerjemahkannya.Nyatanya, aku tak bisa untuk merindu.
Kalimat yang kutulis di kertas buram, sembari mengawasi muridku
ulangan harian. Coretan melas yang menunjukkan betapa lebaynya seorang
guru.
Tanpa sepenuhnya disadari, aku
memotret tulisan itu, mengedit dengan gaya vintage, dan mempostingnya di BBM.
Tersadar setelah sampai di rumah, notifikasi bbm lebih banyak dari biasanya.
Sebagian besar mengomentari foto profil yang kupajang, foto tulisan-tulisan
curhat. Puitis tapi memalukan. Aku tidak terbiasa mengumbar hal semellow ini di
sosial media. Otomotis hal ini mengundang teman-teman meledek habis-habisan.
Ada yang hanya mengirimkan emoticon melet alias menjulurkan lidah yang berarti
mengejek, ada yang mengirimkan kata ‘ciye ciyee’, ada yang membalas dengan
puisi dengan nada yang juga meledek, sampai ada yang menanggapi dengan serius-
mengirimkan pesan motivasi beraura Mario Teguh.
Aku pun turut menertawakan diri
sendiri. Senyam senyum malu ketika mengetik bbm balasan untuk mereka. Chit-chat
yang membuat badan terjebak bak menempel di atas tempat tidur berjamjam
menggunakan seragam ngajar. Sampai teman serumah [dinas] memanggil-manggil dari
luar, mengingatkan jadwal piket memasak.
HP kugeletakkan seenaknya,
merespon panggilan sembari mengganti baju. Terburu-buru menuju dapur dan
memasak.
**
Sekembalinya ke kamar, seperti
biasa HP adalah benda pertama yang disentuh. Entah sejak kapan kebiasaan ini
ada, era digital katanya, hal pertama dan utama bukan lagi sembako tapi gadget
dan signal.
Aplikasi bbm yang pertama dibuka.
Scrol atas bawah dengan cepat digerakkan jempol tangan kanan. Obrolan seru
ledek meledek masih berlanjut. Dan terputus oleh panggilan dari nomor yang
tidak dikenal. Tidak berniat menjawab, alasannya simple: malas berhubungan
dengan perusahaan asuransi yang sudah sering gonta-ganti nomor HP. Niat
mengabaikan terkalahkan oleh rasa terganggu, berulang kali nomor tersebut
menghubungi. Akhirnya aku mengalah, mengangkat teleponnya.
Hallo.
Hallo
dek. Sedang sibuk?
Suara yang sama sekali tidak
asing. Kak Rai. Aku langsung berusaha menguasai diri, komat kamit dalam hati:
santai, jangan keliatan seneng, biasa-biasa saja. Dan berhasil untuk sekedar
pura-pura biasa.
Eh kak Rai. Iya ni, aku lagi nyiapin
materi untuk ngajar besok. Kenapa kak?
Sekarang
saya ada di depan rumah.
Ah becandanya jangan kebangetan kak.
Nggak mungkin lah.
Sekarang
saya sedang berusaha mewujudkan do’a saya.
Kak Rai apa maksudnya? Jangan
ngebuat aku bingung deh.
Aku
hanya ingin minta doa agar usahaku lancar. Sekarang aku sedang di rumahmu dek.
Aku pun keluar kamar dengan buru-buru
karena mendengar Rai yang meyakinkan bahwa dia ada di rumah [dinas]. Bodoh saja
aku sudah percaya, dia tidak disana. Mana mungkin dia bisa tiba-tiba ada di
dalam kebun. Apalagi malam hari begini. Rasa kesal membuat aku langsung menutup
teleponnya.
Dengan cepat mengetik SMS,
“jangan suka main-main sama perasaan
perempuan. Saya bukan mainan.”
Rasanya ingin marah, menangis,
dan teriak sekencang-kencangnya. Merasa sangat dipermainkan. Sudah berhari-hari
tidak ada kabar. Sekalinya ditelepon hanya untuk dipermainkan seperti ini,
siapa yang tak geram- pikirku.
Sepersekian detik dari
terkirimnya SMS, ada telepon dari ibu. Aku tidak langsung mengangkat
teleponnya, karena takut ketahuan ibu kalau aku sedang sedih kesal atau apalah
namanya. Berusaha menguasai diri, bahkan terpikir untuk mengabaikannya. Tapi
ibu pun tidak seperti biasanya, dering telepon tak juga berhenti, mendesak
minta diangkat. Terpaksa segera diangkat sembari berusaha setenang mungkin.
Assalamu’alaikum Bu.
Kok lama sekali diangkatnya, nduk?
Maaf bu, ini tadi sedang di luar. Ada apa ibu tumben teleponnya tidak
sabaran begitu?
Ini, nak Rai datang ke rumah. sekarang lagi
ngobrol sama ayah dan ibu. Kamu kenal dengan nak Rai?
Iya, kenal.
Terbata-bata menjawab, percaya
tak percaya dengan kalimat yang baru saja ibu katakan. Apa maksud semuanya.
Nduk? Nduk?
Ibu memanggil-manggil di ujung
sana, mungkin karena aku nyaris tak bersuara, - karena shock masih tak percaya.
Oh iya bu, iya aku kenal. Ada apa Kak Rai kesitu bu? Ada masalah apa
tho?
Katanya nak Rai mendapat beasiswa ke
Amerika. Mau berangkat enam bulan lagi.
Terus apa hubungannya sama ibu tho?
Ibu belum selesai ceritane nduk. Ya mbok
didengerin dulu sampai selesai.
Nggih, monggo. Maaf bu.
Nak Rai datang kesini ingin meminta izin ibu
sama bapak.
Lha kenapa minta izinnya sama ibu bapak tho?
Ibu belom selesai nduk.
Suara ibu meninggi, geram tidak suka kalimatnya dipotong oleh anaknya
yang dikuasai penasaran.
Iya aku heran soale bu, monggo. Maaf.
Kamu udah ndak sabaran ae. Iku Nak
Rai kesini melamar kamu jadi istrinya dan minta izin untuk membawamu ikut ke
opo ke Amerika nemenin sekolah di sana. Ibu ndak bisa memutuskan, kalau kamu
setuju yo kami setuju ae. Gimana?
Opo bu? Maksudnya kak Rai melamarku gitu toh bu?
Iya nduk. Ibu harus jawab apa ini.
Menurut ibu bagaimana?
Ibu bapak terserah kamu nduk. Tapi perasaan
ibu mengatakan kalau nak Rai ini anaknya baik. Tapi kan kamu lebih kenal
daripada ibu bapak
Sejenak aku menatap langit. Tak percaya. Apa
maksud Tuhan atas semua ini. Sembari terbata-bata, menahan tangis. Aku berusaha
menjawab.
"I i iya bu. Laila mau terima. Insyaallah Laila bersedia. Asal ibu dan bapak merestui.
**
Teman serumahku, Irma dan Yani sudah mematung di depan pintu. Dari tadi
menyaksikan keanehan temannya: mulai dari keluar kamar mendadak, komat
kamit sambil mengetik SMS, dan berwajah geram serupa Hulk yang siap berubah
warna. Sampai menonton adegan dramatis loncat loncat sembari bilang
‘alhamdulillah’ seusai menutup telepon ibu.
Aku berusaha menguasai diri.
Ketika mereka bertanya aku kenapa. aku hanya menjawab,
“aku menang undian chiki ball. Besok kalian aku traktir.”
Teman-teman semakin nyinyir,
bingung dengan kelakuanku.
Setibanya di kamar, otomatis aku
melakukan adegan salah tingkah. Berbaring di tempat tidur sembari senyam
senyum. Adegan yang kemudian terpotong oleh notifikasi BBM - dari Rai,
“doa itu adalah semoga adek ikhlas untuk mendampingi hidup kak Rai sampai maut menjemput. Terima kasih sudah membuatnya terwujud.”
**
Sajak kertas buram kurevisi. Kali
ini di atas sebuah kertas lipat berwarna pink.
Begitu cantik rupa cinta,
Kala kau menyapa.
Aku bahagia, melebihi bahagianya
gadis cilik yang diberi permen gratis. Tak bisa selesai bahagia,
bermalam-malam. Ah, cinta. Sepotong hati kini purnama.
- yulinurmalasari (2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar