Ada panggilan dari dalam diri
untuk share personal opinion saya disini tentang perempuan dan pendidikan yang
kadang langsung serta merta diasosiasikan dengan SEKOLAH, padahal pendidikan
itu pengertiannya tidak sesempit gedung dan kurikulum yang ada di sekolah.
Banyak pendapat, opini,
pemikiran, pandangan yang nampaknya perlu diklarifikasi, semisal:
- · Zaman sekarang perempuan harus sekolah tinggi, biar bisa dapet kerja enak, mapan finansial.
- · Zaman sekarang perempuan harus mandiri, biar nggak bergantung sama laki-laki.
- · Perempuan berhak bebas, kalo punya penghasilan tinggi.
- · Sayang ya sekolah tinggi hanya jadi ibu rumah tangga, ujung-ujungnya ke dapur mah gak usah sekolah keleus.
- · Ibu rumah tangga dipandang “pengangguran” dan tidak bernilai ekonomis dalam rumah tangga.
- · De el el.. silahkan isi sendiri hehe..
Well.. semua pendapat di atas
tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Saya setuju kalau
perempuan sebaiknya sekolah setinggi-tingginya, tapi bukan semata untuk
penghasilan, apalagi melepaskan kebergantungan pada pria sepenuhnya.
Alangkah bijaksana ketika sekolah
tinggi yang berujung perolehan gelar akademik justru bisa meningkatkan martabat
perempuan itu sendiri. Kenapa saya bilang martabat? Karena perempuan
bermartabat itu tidak pernah menggunakan satu sisi dirinya untuk melemahkan
sisi dirinya yang lain.
Sisi pertama, perempuan memiliki
kebutuhan aktualisasi diri, semisal: mengembangkan diri di dunia bisnis,
memiliki jaringan sosial, memperoleh pendapatan, memiliki komunitas berbagi,
bekerja di dunia pendidikan, bekerja di perusahaan sesuai bidang minatnya.
Sisi lainnya, perempuan memiliki
fitrah sebagai makhluk yang wajib menjaga kemuliaanya, seperti: menjaga
kehormatan, mematuhi etika pergaulan, menjadi istri yang taat sama suami,
menjadi ibu yang memastikan anak-anaknya tumbuh berkembang dengan baik, taat
pada aturan Tuhan.
Pendidikan tinggi bukan lisensi
untuk melanggar sisi fitrah dari perempuan itu sendiri. Apalagi untuk muslimah,
kita tidak diajarkan untuk melepaskan kebergantungan pada laki-laki (a.k.a ayah
dan suami). Dan sama sekali tidak diaajarkan untuk menuhankan kebebasan.
Prihatin sekali kan ketika ada
perempuan dengan pendidikan tinggi berperilaku bebas tak berbatas, merasa
mandiri jadi tidak menghargai aturan sosial, merasa mapan menjadi mudah
menentang aturan pernikahan, merasa mampu membayar mahal pengasuh akhirnya
menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya pada pengasuh, dan melegalkan diri untuk
tidak harus melayani keluarga dengan baik.
"Tapi ada kok mbak yang pendidikan
rendah juga kelakukannya begitu."
Nah makanya saya bilang di awal, yang saya
maksud adalah perempuan harus memiliki pendidikan yang BAIK, tinggi rendah
bukan lagi jadi ukuran.
Ada beberapa perempuan yang tidak
mengenyam pendidikan tinggi tapi memiliki pendidikan yang baik. Dia mampu
menjadi istri dan ibu yang mengurus rumah tangga dengan baik, membantu mencari
penghasilan tambahan tanpa terpaksa, dan memiliki rasa ingin belajar hal-hal
baru. Wanita ini bukan sarjana apalagi master.
Ada juga [banyak] perempuan yang
saya kenal berpendidikan tinggi, bahkan lulusan universitas ternama di negeri
ini yang menunjukkan pendidikan tinggi nya berhasil meng-upgrade kebaikan diri.
Meskipun memiliki pendidikan tinggi, tetap semangat belajar menjadi istri yang
patuh pada suami, tidak congkak meskipun pendapatan di atas gaji suami, merawat
anak-anaknya dengan baik, bahkan mampu berbagi dengan sesamanya.
Nah lho, pada akhirnya tinggi rendah menjadi kurang penting, karena yang jadi penting bagi perempuan
adalah pendidikan yang BAIK. Pendidikan yang terus mendorong perempuan belajar
mengembangkan potensinya tanpa mematikan fitrahnya, apapun statusnya – bekerja,
ibu rumah tangga, maupun keduanya.
Lalu, apa pentingnya pendidikan yang BAIK itu? (Baca: Pendidikan BAIK bagi Kaum Hawa)
pict-source: google.com |
- on my desk, 03-09-2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar