Dalam kisah ini kita sangat
pandai bermonolog. Aku menjadi sering bercerita dan bercengkrama dengan diriku
sendiri. Mencoba melupakan sosok yang pernah ada dan mampu memberiku
ketenangan.
--
Dari pagi ke pagi aku berjanji
untuk berhenti mencari dan menunggu sosok engkau. Tapi janji itu tak pernah
bisa aku tepati. Aku dan segelas kopi masih saja setia pada harapan akan
kedatanganmu.
kau dengan lenggang khasmu sembari tersenyum.
menanti kembali saling
bercerita tentang mimpi-mimpi kita.
--
Begitu juga dengan kau. Di istanamu,
kau pun mungkin tengah menggemakan monolog. Yang entah kalimat apa saja yang
tengah kau untai. Entah kisah apa yang tengah kau urai.
Kini, kita telah sama-sama
menjauh dari titik temu. aku berjalan mundur, dan kau berjalan maju setelah
berbalik memunggungiku. aku masih setia menatapmu berjalan menjauh.
--
Tahukah kau?
--
aku begitu kacau setelah kau
memutuskan untuk pergi. Meja kerjaku berantakan tak pernah rapi. Pekerjaanku? Semakin
banyak aku harus merevisi pekerjaanku. Entahlah, konsentrasi menjadi hal
tersulit untukku.
--
Debu yang sudah terlalu tebal di
atas tv pun tak pernah aku peduli. Aku tak lagi lahap menyantap sarapan, makan
siang, dan makan malamku. Kantung mataku semakin gelap, kau lihat itu kan? aku
tak lagi suka mematut-matut diri di depan cermin. Aku tak peduli.
Nyatanya aku
memang tak peduli hal lain, selain ingin kau bisa kembali.
Tapi apakah kau masih peduli? Aku tak tahu
pasti.
Yang aku tahu, kau tidak ada di sini, kau bahkan tak membantuku membalut
kesakitan ini.
--
Aku yang berusaha untuk terlihat
kuat, setidaknya di matamu. Nyatanya hanya sosok yang terlalu rapuh untuk
sekedar berjalan perlahan. Kau hebat, kau memang yang terhebat. Aku tak begitu.
aku terlalu, ah entahlah ini perasaan apa.
Cinta? Bukan, ini lebih dari sekedar
itu.
--
Mungkin kau marah, mungkin kau
benci, mungkin kau kecewa atas aku yang kalah. Marah sajalah, bencilah, dan
kecewalah. Dengan atau tanpa kemarahan, kebencian, dan kekecewaanmu padaku yang
begitu lemah, aku tetaplah perempuan yang
tak bisa menghindar dari memuja, menanti dan merindukanmu.
Marah sajalah,
bencilah, dan kecewalah! Nyatanya aku memang terlalu lemah.
--
Jendela yang dibasahi embun
setiap pagi, begitu berusaha empati terhadap tatapan kosongku. Ia kerapkali
memaksaku bercerita. Entahlah, aku tak tahu caranya. Aku bingung, bagaimana aku
harus menjelaskannya.
Bisakah kau jelaskan aku harus bagaimana? wahai orang
hebat yang kupuja.
(monolog di penghujung gelap, November 2012)