Bulan lalu diberi kesempatan
untuk mengikuti acara Pelatihan Applied Approach, biasa disingkat Pelatihan AA.
Pelatihan ini hukumnya wajib
diikuti oleh para dosen muda, baik di lingkungan perguruan tinggi negeri atau
pun swasta. Tujuannya adalah membekali para dosen muda yang baru terjun ke
dunia mengajar profesional (bukan lagi sebagai asdos hehe..).
Durasi pelatihan beragam
disesuaikan dengan kondisi penyelenggara, katanya bisa sampe 12 hari nonstop. Pelatihan
AA yang saya ikuti tidak selama itu, hanya berlangsung 3 hari. Tapi jadwalnya
memang padat, dari Pkl. 08.00 s.d 21.00. Kegiatan diselenggarakan oleh STIE Indragiri
yang berlokasi di ibu kota kabupaten Inhu – Rengat. Peserta Pelatihan AA
berasal dari 8 kampus di kabupaten Inhu juga 2 kampus dari kabupaten sebelah
(Indragiri Hilir).
Rangkaian acara adalah pelatihan
oleh para pakar di bidangnya. Bahasan meliputi pembelajaran, penelitian,
penilaian, dan hal lain terkait dunia keseharian dosen di perguruan tinggi. Acara
ini ditutup dengan penugasan. Jadi kalo tugasnya nggak dikerjain, peserta nggak
akan dapet sertifikat. Sertifikatnya berpoin besar lho. Makanya saya termasuk
yang ngerjain tugasnya, haha.. #modus!
Peserta dari STAI NF & STKIP Insan Madani |
**
Hmmm... setelah sekian lama (2
tahunan) nggak ikutan forum ilmiah atau akademik di luar kampus, rasanya
membahagiakan bisa masuk kelas lagi, belajar lagi, dipertemukan lagi dengan
orang-orang keren!
Siapa aja tuh orang-orang keren
itu? Here are the stories...
**
Prof Ellizar Jalius, M.Pd.
Professor perempuan yang meskipun
sudah sepuh tapi terlihat sekali jiwanya jauh lebih muda dari usianya. Dengan
santai beliau memperkenalkan dirinya juga bercerita tentang perjalanan
kariernya hingga menjadi guru besar.
Dari ceritanya kami para peserta
jadi tahu bahwa dia punya nickname yang unik, sama sekali tidak ada hubungannya
dengan nama lengkapnya. Beliau dikenal dengan panggilan ‘Non’. Panggilan masa
kecil yang terbawa sampai beliau jadi guru besar, hehe.. so, dia bilang kalau
mencari saya di UNP (Univ. Negeri Padang) jangan pake nama Ellizar, tapi
gunakan sebutan ‘Non’. Nice.
Setelah itu dia bercerita tentang
perjalanan karir akademiknya, yang ternyata dimulai setelah memiliki empat (atau
tiga yaa, lupaaa haha ) anak. Beliau mulai menempuh sarjana muda selepas lulus
SMA, tetapi berhenti setelah dua tahun kuliah, dan concerns penuh pada
pengasuhan anak-anaknya. Sampai setelah lebihd ari 5 tahun pernikahan barulah beliau melanjutkan
sarjana mudanya. Setelah bertahun-tahun lamanya beliau masih terus terpikir
untuk melanjutkan sekolah ke pascasarjana. Tapi berulang kali suaminya menahannya.
Semua peserta dibuat tertawa
dengan banyolannya ketika bercerita tentang bagaimana suaminya menahan atau
seakan meragukan kemampuannya untuk sekolah lagi. Begini kurang lebih intisari
dialognya:
Non :“Pah, sudah dibuka pendaftaran pascasarjana itu?”
Suami : “mau apa?”
Non : “mau daftar lah.”
Suami : “lai talok?” – (red. Bahasa Minang yang artinya kurang lebih: emangnya kamu bisa.)
kata lai talok diulang sampai berkali-kali dalam
kurun waktu sekian tahun. Tapi semakin diragukan semakin tinggi saja semangat
beliau untuk melanjutkan kuliah, ujarnya.
Sampai akhirnya beliau mendaftar
sendiri, dan menunjukkan prestasi yang cukup bisa dibanggakan. Lulus tepat waktu.
Dengan nilai A berderet di transkrip nilainya.
Begitu pun dengan S3 nya, beliau
berhasil mematahkan keraguan orang-orang di sekitarnya. Hingga sampai suatu
saat suaminya mengakui kemampuannya dan mengungkapkan bahwa ia bukan tidak percaya
pada kemampuan istrinya, tetapi khawatir istrinya tersebut tidak bisa bertahan
dan keteteran.
Singkatnya, beliau lulus S3 di
usia sepuh (lebih dari 60 tahun), hanya dalam beberapa bulan berhasil menjadi
guru besar di UNP. Beliau produktif melakukan penelitian. Beliau pun berpesan
untuk tidak terlalu berorientasi pada kejar tayang mengajar, tapi jadilah dosen
yang ‘benar’ dan fokus melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara optimal.
Dari beliau, semangat untuk mengejar
mimpi kembali timbul (setelah sempat tenggelam, haha..!) . ada bukti bahwa usia
tak lagi jadi kendala selama kita mengupayakan apa yang kita impikan. Dalam profesi
dosen, tidak lain dan tidak bukan menjadi Guru Besar adalah titik capaian
tertinggi, bukan? Guru besar adalah posisi kemapanan ilmu, meskipun pada
kenyataannya para guru besar itu semakin tua nampak semakin haus ilmu.
**
Prof. Syahrul
Beliau adalah salah satu guru
besar bahasa di UNP. Pelatihan pada sesi beliau dimulai dengan ice breaking
joget-joget penguin, dan di pertengahan sesi pun beliau kerap kali mem-boost
mood para peserta dengan ice breaking.
Beliau berbicara
bahwa bahasa adalah kekayaan. Indonesia cukup menantang dalam penggunaan
bahasa, karena terdapat banyak kelompok etnis dengan bahasa berbeda. Melalui dialek
bahasa kita menjadi mudah tahu asal tinggal seseorang. dan tidak jarang dialek
tersebut menyalahi pengucapan bahasa indonesia yang baik dan benar, ujarnya. Kami
menyimak dan sesekali tertawa saat beliau menceritakan pengalaman-pengalamannya
mengoreksi bahasa para mahasiswanya yang berasal dari suku Batak, Minang, dll.
:D
Sesi beliau
mengulas tentang Penelitian Tindakan di dunia perguruan tinggi, how to conduct
its research, dan penulisan bahan ajar.
Penuturannya sederhana,
mudah dimengerti, dan bisa membuat nyaman. Lebih dari 4 jam bersama beliau, saya belajar how to be a well integrated person. Bravo!
**
Prof. Syafrani.
Di awal sesi beliau
mewanti-wanti peserta untuk memaklumi dialek bahasanya yang ‘melayu banget’,
karena memang beliau orang Melayu asli katanya. Beliau adalah salah satu mantan
rektor di Univ. Lancang kuning Riau.
Pada sesi
beliau, peserta dibuat enak tertawa. Penuturannya santai, dan yang beliau bahas
adalah keseharian aktifitas yang terjadi di dunia kampus swasta menengah ke
bawah. Ada kesan penuturan beliau sangat empatik. Beliau ada di tempat yang
sama dengan kami para peserta yang notabene mengajar di kampus swasta kecil di
kota kecil juga. Kampus dengan input yang tidak sebagus di perkotaan.
Dari penuturan
beliau, kami merasa sangat terwakili, dan merasa tidak sendirian, #tsaaaah!
Beliau mengungkapkan
banyak sekali pengalamannya selama menjadi dosen. Dalam sesinya beliau juga
mendorong untuk masyarakat Riau bangkit untuk memperbaiki dan percaya diri
ketika menghadapi persaingan di kelas Nasional. Terlihat sekali kepedulian dan
keprihatinannya pada kondisi pendidikan di provinsi ini.
Banyolan yang
melekat dari beliau, sekaligus sindirian untuk sekelompok suku yang masih
terbiasa dengan aktifitas memancing:
“Orang yang hobi memancing itu nggak akan bisa maju-maju.” (pause)
Semua peserta
ngangguk-ngangguk, mengiyakan ucapannya, mengamini maknanya.
Tapi semua
buyar menjadi gelak tawa, saat beliau melanjutkan.
“Orang yang hobi memancing itu nggak akan bisa maju-maju. Kalo sampe maju, terceburlah ia ke sungai” hahaha...!!
Materi yang
beliau sampaikan terkait penilaian yang komprehensif, yang tidak terpaku pada
nilai ujian saja. Melainkan penilaian alternatif yang juga mempertimbangkan
aspek lain semisal keaktifan, attitude, kelengkapan tugas, ketepatan waktu, dan
lainnya sesuai dengan tuntutan mata kuliah tertentu.
Sesuatu yang
sudah kita tahu sebenarnya, tapi kadang kami para dosen memang perlu dikuatkan
dengan penyampaian-penyampaian seperti ini.
**
Dr. Elfis
Juga seorang
akademisi asal Riau. Beliau adalah pemateri termuda dibanding tiga pemateri
lainnya. Beliau berdinas di Univ. Islam Riau.
Dua statement
beliau yang cukup membuat kening merengut kepala mengangguk:
· Mahasiswa adalah makhluk defisit selama rata-rata 4 tahun. Untuk S1 bisa jadi lebih dari 4 tahun. Masa setelah lulus kuliah, masih akan jadi pengangguran dan defisit juga?
Mahasiswa harus dipaksa untuk berpikir enterpreneur, salah satu ujung tombaknya ada di tangan dosen. Jadilah bank ide untuk mereka.
Oke, bapak ibu
dosen muda, mari kita upayakan sekecil apapun upaya itu untuk menginspirasi
para mahasiswa agar bisa jadi makhluk produktif dan tangguh. #uhuk!
**
Udah segitu
dulu ya. Salam harmoni di dunia pendidikan ibu pertiwi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar