Untuk para pendaki, mungkin judul
tulisan ini bakal jadi bahan tertawaan. Kenapa? karena sekarang akses menuju
puncak Pananjakan dan Bromo sudah bisa ditempuh tanpa mendaki. Sudah bisa
menggunakan Hard Top via Malang, dan kota-kota sekitarnya. Kalau tidak, kita
bisa menempuhnya dengan ojek juga kuda.
Tapi untuk saya dan teman-teman
(Pia dan Mas Dani), ini adalah pengalaman berharga. Karena kami mencapai puncak Pananjakan dengan jalan kaki. Yeay!!
**
Naik gunung adalah salah satu
obsesi saya. Tapi berhubung izin orang tua tak pernah turun, selalu gagal untuk
bisa memenuhi obsesi ini. sampai pada bulan Juli di Tahun 2011. Di bulan itu saya melepas berhasil menyelesaikan skripsi dan lengser dari satu jabatan di sebuah organisasi. Menuju Bromo semacam selebrasi untuk dua hal tersebut.
Setelah tiga hari di Malang (baca: ke Malang, kembali Pulang),
kami ditemani Mas Dani menuju Bromo. Mas Dani yang notabene orang asli Probolinggo pun baru
pertama kali ke sana. Kesimpulannya tiga anak manusia: saya, Pionk, dan Mas
Dani sama-sama buta track! Haha
Dari Malang kami menaiki bus
menuju Probolinggo. Waktu itu kami naik bus AC. Kami nggak tahu harga tiket bus
berapa, karena si ade-ade ini dibayarin masnya. Rejeki mojang sholeha #eh.
Semoga Mas Dani nggak nagih, haha..
Bus yang siap dinaiki di Terminal Probolinggo |
kami sudah di dalam bus, cekrek! |
Seperti biasa, kami bermodal
artikel blogger. Di sebuah blog dituliskan, kami harus berjalan ke arah kiri
terminal Probolinggo, agar bisa menemukan spot pemberhentian mobil jenis colt
menuju desa terdekat Bromo. Dengan gaya petualang, Pionk menunjukkan arah. Dan
ternyata jarak antara terminal Probolinggo dengan spot pemberhentian mobil-mobil
colt itu hanya beberapa meter saja, hahahaha.. Gayamu yooonk yooonk!
So, kalau kamu mau ke Bromo
dengan rute dari Terminal Probolinggo, silahkan belok kiri, dan akan ditemukan
sekumpulan mobil jenis colt (red. Oplet) beserta sopirnya. Nggak jauh. Deket
banget.
Oplet-oplet yang berjejer di
depan warung-warung kecil itu hanya akan berangkat menuju desa terdekat Bromo,
yakni Desa Cemoro Lawang, apabila satu mobil sudah penuh. Kalau hanya 1-2
orang, tidak akan mereka angkut. Jam keberangkatan random, berangkat kalau
mobil penuh. Hanya saja, kalau malam mereka tidak beroperasi, kata salah satu
sopir.
Karena kami adalah tiga penumpang
pertama (di jam itu), kami harus menunggu calon penumpang lainnya. Sambil
menunggu, kami transit cemal cemil di warung terdekat. Pionk sempat charge HP
nya di warung itu.
Satu dua berdatangan, termasuk
bule-bule dengan ransel besar. Mobil penuh, cuussss menuju Cemoro Lawang.
Pionk di dalem oplet |
**
Jalan menuju Desa Cemoro Lawang
dari Terminal Probolinggo berkelok-kelok dan kecil. Kami yang menumpangi oplet
saat hari menggelap cukup ketar ketir. Karena si pak sopir mengemudi dengan
kecepatan tinggi sambil menelepon. Seolah punya nyawa tambahan. Pengalaman seru
deh pokoknya. Mungkin kalau ditanya, Pionk punya semacam ‘permintaan terakhir’
waktu itu, haha..
Mas Dani memanfaatkan momen di
dalam oplet untuk mengobrol dengan kernetnya. Mencari info penginapan. Dari
kernet itu, akhirnya kami mendapatkan penginapan.
**
Penginapan berbentuk rumah dengan
3 kamar. 1 kamar di bawah dan 2 kamar di atas. Fasilitas lengkap, mulai dari
tempat tidur, kursi di ruang tamu, TV, kulkas, dan AC alami yang dinginnya
sampe ke tulang. Oiya, harga penginapan kalau tidak salah 250rb.
Kami memilih kamar bawah. Suasana
malam di sekitar penginapan sepi sekali. Tapi berhubung banyak penginapan, kita
tidak akan sulit menemukan makanan. Pedagang keliling aktif membunyikan
pentongan ajaibnya untuk mengundang pembeli. Kami pun beruntung sempat
menikmati bakso panas di tengah-tengah dinginnya malam #tsaah.
Sebelum menuju kamar
masing-masing untuk istirahat, kami menyepakati mulai mendaki jam 02.00 pagi.
Membawa barang seperlunya dan persiapan mental sebanyak-banyaknya haha..
**
Jam 02.00 teng kami sudah siap
dengan kupluk, jaket tebal, syal, sepatu, dan ransel bawaan.
ready to climb hihiw |
Keluar dari rumah,
kami terhenyak merasakan hawa yang begitu dingin. Bandung pun tak pernah
sedingin waktu itu rasa-rasanya. Disambung dengan decak kagum ketika melihat
bintang gemintang di hamparan langit yang hitam pekat. Allah, masih terekam
betapa indahnya suasana pagi itu.
nahan takut, pose dulu |
Berjalan langkah demi langkah
menuju Bromo. Perkiraan kami bisa sampai tepat saat matahari muncul. Tak
habis-habis hati memuji keindahan suasana malam itu.
Di perjalanan, lolongan anjing
terdengar saling bersahutan. Saya dan pionk beberapa kali saling berpegangan
tangan, takut dikejar anjing, haha.. dan suasana semakin mencekam ketika
melewati sebuah pos kosong, terpampang sebuah papan pemberitahuan agar
berhati-hati karena banyak berkeliaran rampok juga hewan buas. (((MALING DAN
HARIMAU JUGA TEMAN SEGENG SINGA)))
Mas Dani sibuk meyakinkan kalau
kami dalam kondisi aman. Meskipun saya yakin, kala itu, dia pun ketakutan,
hahaha... (peace Mas ^^v )
Jarak demi jarak berhasil kami
taklukan, sebelum mendaki kita akan melewati dataran. Kami berpapasan dengan
ojek kuda yang awalnya menawarkan jasanya. Tapi kami menolak. Kami ingin
mendaki pake kaki sendiri! hehe.. Akhirnya kami dan ojek kuda menjadi teman seperjalanan, kami baru berpisah sesampainya di track pendakian.
pionk with the horse, kudanya males foto yonk :D |
Ketika medan sudah berubah
menjadi lereng-lereng, kami mulai gugup. Karena banyak ranting pepohonan yang
runtuh ke arah lereng untuk pendaki. Karena waktu kami ke sana, Bromo sempat
aktif. Belakangan kami bisa melihat masih ada abu-abu vulkanik di ranting
pohon.
Setelah di pendakian, kami
menemui banyak turis asing. Ada juga pendaki domestik seperti kami. Semakin
atas semakin ramai. Ternyata bukan hanya kami bertiga yang berjalan menyusuri
lereng yang gelap. Dakian cukup curam untuk pemula seperti kami. Dan kondisi
gelap cukup memacu adrenalin (maklum newbie unyu-unyu).
Sampai di Pananjakan pertama, di
sana ada pedagang minuman yang stand by. Pionk mengaku kelelahan. Kami pun
beristirahat disitu. Karena waktu tersisa cukup banyak sebelum matahari terbit.
Kami memesan minuman hangat juga berbincang-bincang dengan mbak-mbak pedagang.
Pionk menanyakan seberapa lama
lagi kami bisa sampai puncak. Dan konyolnya dia pun seolah menanyakan: haruskah
kita sampai puncak??
Saya dan mas dani tidak bisa
memaksa. Mau lanjut ayo, tidak pun tidak apa-apa. Karena kondisi pionk waktu
itu sangat ‘mengenaskan’ hhahahahaha..
Jawaban si mbak pedagang sontak
membuat kami tergelak, saya tidak bisa menahan tawa, begini jawabnya: “disini
juga nanti kelihatan matahari terbit. Tapi tidak sebagus di puncak Pananjakan.
Dan biasanya ORANG-ORANG TUA yang melihat matahari terbit dari sini” *ORANG
TUA DI BOLD DIUNDERLINE hahahahhahaha
Jawaban yang melecut gengsi
seorang Pionk. Kami pun melanjutkan pendakian sampai puncak. Lanjut ke kekonyolan
kedua.
Pionk kembali menunjukkan
kelelehan. Dan kami tidak lagi bisa memaksa. Tapi sebetulnya saya juga sudah merasa lelah sih. (maappp
ya pionk, kamunya jadi kambing hitam, :P)
Kelelahan datang bersama ojek
yang mengatakan puncak masih sangat jauh dan kami nggak akan keburu sampai
puncak sebelum matahari terbit jika mengandalkan jalan kaki. Kami yang
terobsesi dengan Sunrise Bromo, tentu saja panik. Dan akhirnya memutuskan
menggunakan ojek.
You know WHAT?!
Palingan kurang dari 5 menit kami sudah sampai puncak Penanjakan. Ternyata
sudah dekat dengan sekali. Ah! Menyebalkan, ojek gombal gambul. Ngakak lah kami
kalau bahas itu. Tapi yasudahlah, rejeki mamang ojek kali ya berhasil ngangkut
mojang kumal #eh.
kami di Gerbang Penanjakan |
**
Di puncak ramaaaiii sekali
pemburu matahari terbit. Beberapa dari mereka terlihat bukan kali pertama
menyaksikan sunrise di Bromo. Terdengar beberapa orang menyebut mahari sebagai
Jago Raksasa. Kami melepas lelah sambil berfoto dan menanti sunrise. Indah
sekali alam sekitar Gunung Bromo. Perlahan lahan matahari terbit. Dan semua
orang di pananjakan waktu itu berteriak kala matahari mulai menyapa pagi - memecah
kegelapan.
hamparan awan yang keren banget |
para pemburu mentari |
Benar apa kata para pendaki itu, melewati lereng-lereng gunung menuju puncak membuat kita belajar menaklukan diri sendiri. Pendakian bisa membuat kita bijak untuk tidak mudah menyepelekan sebuah perjalanan.
Finally i can see it: the sun! |
latar favoritt, best angle. |
sedi, tugunya banyak coretan T.T |
Kami belajar banyak, kami pendaki
ala-ala yang berhasil dibius indahnya perjalanan, asiknya mengejar matahari!
**
Selanjutnya kami berburu
spot-spot terkenal sesuai petunjuk mamang ojek. Kami berfoto di hamparan pasir
luas berlatar belakang gunung-gunung, bukit teletubbies, juga pasir berbisik.
Sssttt.... Kami bertanya-tanya
apa istimewanya Pasir berbisik yang ditunjukkan mamang ojek, ternyata dinamakan
pasir berbisik karena pada spot tersebut dilakukan shooting film Pasir
Berbisik. Tempat shooting titik ! haha..
Pionk dan kembarannya, haha |
Celebrate celebrate! |
eksotisnya alam! |
bersama mamang ojek |
**
Sampai jumpa di
pendakian selanjutnya, kawan!
tukang ojeknya nyari penumpang pagi2 buat sarapan mbak hehe..
BalasHapuspengen ihh ke bromo, aku orang jatim tapi belum pernah kesana hehe
iya, para mamang ojek itu standby 24jam, aktif cari penumpang.
Hapusoalaaah sama kayak suamiku mbak, orang jatim tapi belum sempet kesana. kapan-kapan sempetin ke sana, ajak aku yak, #eh hehe
Jatimnya dimana memang mbak ?
wah saya belum perah menginap di Bromo meskipun sudah pernah singgah di sana. Mungkin kapan-kaoan harus coba. :D
BalasHapusiya mbak, must try.. sensasi dinginnya memorable hehe..
Hapus