Kita bertegur sapa hanya
sesekali, tak ada romantisme dalam persahabatan kita.
Tapi kau sudah membantuku
banyak, sangat banyak.
Kali ini kita begitu lancar
saling menguatkan. Kita berada pada pijakan yang sama. Sama-sama sulitnya, sama
membingungkan, juga teramat pelik untuk kita bahasakan.
Kita sama-sama menerjemah rasa.
Kita tengah sakit. Kita tengah merintih berusaha kuat menjalani hidup. Bukan
karena kita tidak bahagia, tapi karena ada yang menuntut kebahagian lain yang
justru membuat kita tersakiti.
Ra, kau jauh disana. Tapi aku
merasa kita sangat dekat sore ini. kamu memeluk erat segala curahan hatiku juga
menggenggam erat curahan hatimu.
Ah, kau memang lebih pandai
memaknai hidup.
Ini bukan kali pertama aku menghubungimu ketika aku butuh
sandaran.
Tapi kali ini ada rasa yang
berbeda. Kau pun menghadapi persimpangan yang sulit.
Aku tahu kau jauh lebih
kuat. Nyatanya memang begitu.
Dengan badai perasaan seperti itu, kau masih bisa
berdiri tegak, menggemakan prinsip sepercaya diri biasaya. Ketenanganmu, selalu
saja bisa membuatku iri.
Ra, kamu benar, kita tak boleh
salah arah. Kapal yang sedang kita naiki adalah kapal yang begitu kokoh juga
baik. Tak usah lagi kita terlalu peduli dengan kapal-kapal lain.
Sekalipun itu
kapal tempat kita dibesarkan.
Nyatanya, Tuhan punya titah lain
untuk kita. Sebuah titah yang lebih harus kita tunaikan: hidup sebagai ratu
yang menjadi pakaian dan pendamping setia raja; taat padanya; juga rela atas
semua perjalanannya.
Kita tak lagi harus memikirkan
arah lain selain sebuah arah yang sekarang kita tuju.
Aku bangga padamu, juga meyakini
obrolan kita sore ini akan menjadi saksi betapa patuh kita pada amanah untuk
setia mengumpulkan kekuatan demi kekuatan, keyakinan demi keyakinan, menuju
tempat keabadian [nanti].
Doaku menyertaimu, Ra.
Meski
mungkin tak sebanding dengan lirih doamu untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar