Minggu, 28 Agustus 2016

Untukmu, Ra. Terima kasih banyak!

Kita bertegur sapa hanya sesekali, tak ada romantisme dalam persahabatan kita. 
Tapi kau sudah membantuku banyak, sangat banyak.

Kali ini kita begitu lancar saling menguatkan. Kita berada pada pijakan yang sama. Sama-sama sulitnya, sama membingungkan, juga teramat pelik untuk kita bahasakan.

Kita sama-sama menerjemah rasa. Kita tengah sakit. Kita tengah merintih berusaha kuat menjalani hidup. Bukan karena kita tidak bahagia, tapi karena ada yang menuntut kebahagian lain yang justru membuat kita tersakiti.

Ra, kau jauh disana. Tapi aku merasa kita sangat dekat sore ini. kamu memeluk erat segala curahan hatiku juga menggenggam erat curahan hatimu.

Ah, kau memang lebih pandai memaknai hidup. 
Ini bukan kali pertama aku menghubungimu ketika aku butuh sandaran.
Tapi kali ini ada rasa yang berbeda. Kau pun menghadapi persimpangan yang sulit. 

Aku tahu kau jauh lebih kuat. Nyatanya memang begitu. 
Dengan badai perasaan seperti itu, kau masih bisa berdiri tegak, menggemakan prinsip sepercaya diri biasaya. Ketenanganmu, selalu saja bisa membuatku iri.

Ra, kamu benar, kita tak boleh salah arah. Kapal yang sedang kita naiki adalah kapal yang begitu kokoh juga baik. Tak usah lagi kita terlalu peduli dengan kapal-kapal lain. 
Sekalipun itu kapal tempat kita dibesarkan.

Nyatanya, Tuhan punya titah lain untuk kita. Sebuah titah yang lebih harus kita tunaikan: hidup sebagai ratu yang menjadi pakaian dan pendamping setia raja; taat padanya; juga rela atas semua perjalanannya.

Kita tak lagi harus memikirkan arah lain selain sebuah arah yang sekarang kita tuju.

Aku bangga padamu, juga meyakini obrolan kita sore ini akan menjadi saksi betapa patuh kita pada amanah untuk setia mengumpulkan kekuatan demi kekuatan, keyakinan demi keyakinan, menuju tempat keabadian [nanti].

Doaku menyertaimu, Ra. 
Meski mungkin tak sebanding dengan lirih doamu untukku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar